BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN
KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pendapatan Nasional adalah jumlah
pendapatan yang diterima oleh faktor produksi yang digunakan untuk
memproduksikan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu. Pendapatan nasional
juga dapat diartikan sebagai nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu
negara ( Sukirno, 2008 )
2. Perhitungan pendapatan nasional
akan memberikan perkiraan tentang nilai seluruh produksi yang tercipta dalam
suatu negara dalam satu tahun tertentu, yang merupakan ukuran dasar dari
kinerja suatu perekonomian. Pendapatan Nasional (dilihat dari sisi pendapatan)
atau Produksi Nasional ( jika dilihat dari sisi produksi ) merupakan suatu
angka (dinyatakan dalam satuan mata uang) yang mencerminkan nilai seluruh hasil
kegiatan ekonomi di suatu negara tertentu selama periode tertentu (biasanya
selama satu tahun).
Ada tiga metode atau pendekatan yang
digunakan untuk menghitung Pendapatan Nasional, yaitu:
1.
Metode
Produksi (Production Approach)
2.
Metode
Pendapatan (Income Approach)
3. Metode Pengeluaran (Expenditure Approach)
A.
Metode
Produksi (Production Approach)
Perhitungan
pendapatan nasional menurut metode ini didasarkan atas jumlah nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara
dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Metode ini sangat
memungkinkan terjadinya perhitungan ganda (double
accounting).
Untuk menghindari
perhitungan ganda tersebut, ada dua cara yang digunakan yaitu, menghitung nilai
akhir atau dengan cara menghitung nilai tambah dari setiap tahapan proses
produksi dimana hasil yang diperoleh dari kedua cara tersebut harus
menghasilkan nilai yang sama.
Perhitungan
dengan menggunakan nilai akhir akan dilakukan dengan hanya menghitung nilai
rupiah dari produk akhir. Sedangkan perhitungan dengan menggunakan nilai
tambah, dilakukan dengan menjumlahkan nilai tambah yang dihasilkan oleh tiap
produsen (nilai tambah adalah selisih antara nilai jual dari setiap produsen
dengan biaya material antara).
B.
Metode
Pendapatan (Income Approach)
Nilai
seluruh produksi dalam perekonomian diperoleh dengan menjumlahkan pendapatan
faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, yaitu pendapatan
dari tenaga kerja, modal, tanah, dan keahlian dan keusahawanan (enterpreneurship).
Faktor-faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi memperoleh balas jasa yang akan diterima oleh
pemiliknya berupa sewa, upah dan gaji, dan laba / keuntungan pengusaha.
Perusahaan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang kemudian dijual kepada
masyarakat, dan masyarakat membeli barang-barang dan jasa-jasa dari hasil
penjualan faktor-faktor produksi yang dimilikinya tersebut. Perputaran kegiatan
perekonomian antara produsen sebagai penghasil barang-barang dan jasa-jasa
serta sebagai pembeli faktor-faktor produksi dengan masyarakat sebagai pembeli
barang-barang dan jasa-jasa serta sebagai penjual faktor produksi.
C.
Metode
Pengeluaran (Expenditure Approach)
Menghitung pendapatan
nasional dengan cara menjumlahkan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh
sektor-sektor ekonomi, yaitu pengeluaran sektor rumah tangga, sektor
perusahaan, sektor pemerintah dan sektor luar negeri. Dengan pendekatan ini,
jumlah seluruh pengeluaran sektor-sektor ekonomi disebut sebagai Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) atau yang lebih dikenal sebagai Gross Domestic Product
(GDP).
(Jamil, 1992 )
3. Berikut
adalah beberapa konsep pendapatan nasional :
Produk
Domestik Bruto (GDP)
Produk domestik bruto (Gross Domestic Product)
merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi
di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.
Produk
Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional Bruto (Gross National Product)
atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh
penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun
Produk
Nasional Neto (NNP)
Produk Nasional Neto (Net National Product)
adalah GNP dikurangi depresiasi atau penyusutan barang modal (sering pula
disebut replacement).
Pendapatan
Nasional Neto (NNI)
Pendapatan Nasional Neto (Net National Income)
adalah pendapatan yang dihitung menurut jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai
pemilik faktor produksi.
Pendapatan Perseorangan (PI)
Pendapatan perseorangan (Personal Income)adalah
jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk
pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun.
Pendapatan yang siap dibelanjakan (DI)
Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income)
adalah pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan guna membeli barang dan jasa
konsumsi dan selebihnya menjadi tabungan yang disalurkan menjadi investasi. (
Wikipedia, 2011 )
4.
Penghitungan
PDB di Indonesia
Biro Pusat Statistik (BPS) di Jakarta
bertugas menghitung dan mengeluarkan angka-angka PDB serta beberapa rekening
pendapatan dan pengeluaran nasional lainnya. Penghitungan yang dilakukan pada
dasarnya sebagai berikut:
a.
Dalam
penghitungannya dibedakan menurut 11 lapangan usaha, yaitu: Pertanian, Kehutanan,
Perikanan, Pertambangan, Penggalian, dan, Industri Pengolahan, Listrik, Gas,
dan Air Minum, Bangunan, Perdagangan, Pengangkutan dan Komunikasi, Bank dan
Lembaga Keuangan, Sewa Rumah, Pemerintahan dan Jasa-jasa. Untuk masing-masing
lapangan usaha dilakukan penghitungan PDB dengan menggunakan pendekatan produk
atau pendekatan pendapatan.
b.
Penghitungan
PDB dilakukan pada harga berlaku serta menurut harga konstan pada suatu tahun
tertentu.
c.
PDB
selama beberapa tahun baik pada harga berlaku maupun pada harga konstan.
d.
Sejak
tahun 1970, penghitungan PDB diperluas lagi penghitungannya dengan penghitungan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk daerah tingkat I (propinsi). Bahkan
telah pula dihitung produk domestik regional bruto pada beberapa daerah tingkat
II yaitu kabupaten dan kotamadya.
( Wijaya, 1990 )
B. Kerangka
Teori
Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh
seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan
faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun. Dengan
mengadakan akuntansi penghgitungan pendapatan nasional kita dapat mengukur
produksi dalam suatu perekonomian pada saat tertentu dan menganalisis faktor-
faktor penyebabnya. Selanjutnya dengan membandingkan rekening pendapatan nasional
sepanjang periode waktu tertentu maka dapat diketahui arah pertumbuhan ekonomi
suatu negara. PDB menunjukkan nilai seluruh output atau produk dalam
perekonomian suatu negara.
PDB adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan
oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama
satu tahun. Dalam
penghitungannya dibedakan menurut 11 lapangan usaha, yaitu: Pertanian,
Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Penggalian, dan, Industri Pengolahan;
Listrik, Gas, dan Air Minum, Bangunan, Perdagangan, Pengangkutan dan Komunikasi,
Bank dan Lembaga Keuangan, Sewa Rumah, Pemerintahan dan Jasa-jasa. Untuk
masing-masing lapangan usaha dilakukan penghitungan PDB dengan menggunakan
pendekatan produk atau pendekatan pendapatan.
BAB III
DATA DAN PEMBAHASAN
Indonesia memiliki berbagai sektor
penting yang mampu menghasilkan devisa yang cukup besar yang mampu mendorong
peningkatan pendapatan nasional. Sektor penting tersebut, diantaranya: sektor
pertanian, sektor kehutanan, sektor industri, sektor pertambangan, sektor
telekomunikasi, sektor perikanan, dan lain sebagainya. Berbagai sektor tersebut
harus dimanfaatkan dengan optimal agar pendapatan nasional tetap terjaga
kontinuitasnya.
1.
Sektor
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
Nilai
Produk Domestik Brutto (PDB) Dari hasil pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan atas dasar harga konstan 2000 adalah sebesar 284,6 Triliun pada tahun
2008 dan 296,4 Ttriliun pada tahun 2009 atau mengalami pertumbuhan sebesar 4,1
persen.Berdasarkan data-data yang penulis peroleh, untuk keseluruhan tahun
2008, sektor pertanian tumbuh sebesar 4,8%, lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan tahun lalu yang sebesar 3,4%. Kinerja sektor pertanian masih
ditopang oleh subsektor perkebunan dan tanaman bahan makanan. Kinerja sektor
pertanian yang membaik terutama disebabkan oleh membaiknya produktivitas
subsektor tanaman bahan makanan yang bersumber dari peningkatan produksi
pertanian selama tahun 2008 terutama di wilayah Jawa dan Sumatera. Disamping
itu, kinerja sektor pertanian tersebut didukung oleh tingginya permintaan
ekspor subsektor perkebunan terutama kelapa sawit pada paruh pertama tahun 2008
di Sumatera dan Kalimantan. Pada paruh kedua 2008, pertumbuhan subsektor
perkebunan melambat terutama terkait dengan turunnya permintaan ekspor dan
menurunnya harga komoditas perkebunan. Peranan Sektor Pertanian terhadap PDB
Indonesia tahun 2009 tumbuh dari 14,5 persen menjadi 15,3 persen sehingga
sektor pertanian berada pada ranking kedua yang memiliki kontribusi terhadap
PDB setelah sektor industri pengolahan.
Indonesia
mempunyai potensi yang sangat besar dalam pengembangan agribisnis bahkan
dimungkinkan akan menjadi leading sector dalam pembangunan nasional. Potensi
agribisnis tersebut. Dalam Pembentukan Produk Domestik bruto , sektor
agribisnis merupakan penyumbang nilai tambah (value added) terbesar dalam
perekonomian nasional, diperkirakan sebesar 45 persen total nilai tambah.
Sektor
kelautan dan perikanan selama ini diketahui sebagai salah satu sektor di Tanah
Air yang potensial dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Betapa tidak,
pada sektor terkandung sumber daya hayati berlimpah yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Menyadari potensi tersebut, pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) terus berupaya memajukan bidang kelautan dan perikanan.
Data KKP(Kementrian Kelautan dan Perikanan) menunjukkan produksi perikanan
nasional mencapai 9,68 persen per tahun, dengan kontribusi pertumbuhan budi
daya sebesar 19,56 persen dan perikanan tangkap sebesar 2,78 persen. Hingga
akhir 2010, kontribusi produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan terhadap
PDB nasional mencapai 3,14 persen atau setara 148,16 triliun rupiah. Pada tahun 2011 ini, kontribusi PDB perikanan
terhadap PDB nasional tanpa migas diharapkan meningkat menjadi 3,5 %. Sedangkan
target produksi perikanan tahun 2011 dipatok 12,26 juta ton. Perikanan budidaya
diharapkan menyumbang 6,85 juta ton dari jumlan tersebut. Nilai ekspor hingga
akhir tahun 2010 diperkirakan mencapai USD 2,66 miliar atau naik 8,05 % dari nilai tahun 2009 yang sebesar USD 2,46
miliar, meskipun KKP tahun 2010 menargetkan ekspor sebesar USD 2,9 miliar atau
baru terealisasi sebesar 91,89 %. Disamping mengalakan pasar ekspor, KKP juga
secara terus-menerus meningkatkan konsumsi ikan nasional melalui kegiatan
Gerakan Makan Ikan Nasional (Gemarikan). Hal ini ditempuh dalam upaya
meningkatkan kecerdasan masyarakat dengan mengkonsumsi ikan, disamping
meningkatkan penyerapan produksi perikanan yang telah dilakukan KKP. Hasilnya,
pada tahun 2010, tingkat konsumsi ikan nasional mengalami kenaikan sebesar 4,78
%, yaitu dari sebesar 29,08 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 meningkat menjadi
30,47 kg/kapita/tahun pada tahun 2010.
Sub
sektor peternakan mempunyai peran yang sangat strategis dalam agroindustri
nasional, karena terbukti bahwa permintaan produk peternakan terus meningkat
setiap tahun. Hal ini tentunya seiring dengan pertambahan penduduk yang
mencapai 1,4%/tahun dan perkembangan perekonomian nasional. Ikatan Sarjana
Peternakan Indonesia (ISPI) mencatat, PDB sub sektor peternakan mencapai
Rp.35,5 trilyun (atas dasar harga konstan) pada tahun 2009 yang secara
konsisten meningkat dari tahun 2004-2008 sebesar 2,45%/tahun. Hal ini memang
masih dibawah rata-rata pertumbuhan nasional yang mencapai 6% pada tahun 2010.
PDB sub sektor peternakan memberikan kontribusi terhadap 12,5% terhadap PDB
sektor pertanian, dimana share sektor pertanian terhadap PDB nasional sebesar
13,7%.
Sejak
tahun 2005 subsektor kehutanan hanya menyumbang 1% terhadap PDB, dan bahkan
tahun 2009 menurun, hanya sebesar 0,8%. Kecilnya kontribusi subsektor kehutanan
terhadap PDB ini disebabkan karena hanya dihitung dari komoditi primer, yaitu
kayu log, rotan, jasa kehutanan, dll. Sementara itu, berdasarkan PP No.6 tahun
2007 jo. PP No.3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, cakupan binaan Kementerian Kehutanan
meliputi hasil produk primer kehutanan sampai industri kehutanan seperti
industri penggergajian kayu, industri kayu lapis, panel kayu dan veneer. Sampai
saat ini, penyajian Nilai Tambah Bruto Industri Kehutanan di PDB masih
tergabung didalam subsektor Industri Pengolahan Migas. Di samping itu, ada
diantaranya hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan yang masih perlu dielaborasi
untuk menjadi bagian akun subsektor kehutanan yang dapat memberikan kontribusi
terhadap PDB. Tentu saja hal tersebut menjadi penting untuk dicatat
sebagai pendapatan subsektor kehutanan yang berasal dari sumber non-kayu. Di
sisi lain sangat diyakini juga bahwa kehutanan memiliki multflier effects yang
memiliki peran besar terhadap perkembangan sub sektor lain yang selama ini
tidak direpresentasikan dalam PDB sebagai kontribusi lain dari sub sektor
kehutanan kepada sektor-sektor lainnya. Dengan demikian maka diduga nilai
kontribusi sub sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional seharusnya jauh
lebih besar dari hanya nilai yang saat ini disajikan dalam PDB nasional
sehingga memiliki nilai penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi nasional
secara keseluruhan dalam PDB dan sebagai sumber pengganda kepada sektor lain.
2.
Sektor
Industri
Memasuki
era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, setiap negara dituntut
untuk memperkuat pilar-pilar perekonomiannya. Perindustrian sebagai salah satu
pilar ekonomi, yang dalam hal ini berkontribusi menyumbang PDB harus kuat.
Sejak tahun 1967 hingga 2004, perekonomian Indonesia mengalami perubahan
struktur yang sangat signifikan. Peranan sektor industri terhadap PDB meningkat
dari 7,3% menjadi 28,1%. Hal ini diiringi dengan penurunan kontribusi sektor
pertanian terhadap PDB dari 53,9% menjadi 14,3%. Tidak diragukan lagi bahwa
Indonesia sudah masuk ke fase industrialisasi hingga tahun 2004. Namun sejak
2004 hingga 2009, kontribusi sektor industri terhadap PDB semakin menunjukkan
tren penurunan. Departemen Perindustrian RI melaporkan bahwa kontribusi sektor
industri terhadap PDB menurun dari 28,1% menjadi 27,34%. Tidak hanya itu,
sektor industri semakin menunjukkan pertumbuhan minus, dari 6,38% di tahun 2004, menjadi 4,60%; 4,59%; 4,67%; 3,66%;
dan 2,31% pada tahun 2009. Melihat kenyataan ini, banyak pengamat ekonomi
mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi”. Hal ini juga ditunjukkan dengan
penurunan kapasitas terpasang industri dari 80% menjadi 60%, penurunan jumlah
unit usaha industri skala sedang dan besar, dan penurunan signifikan dari
indeks produksi industri sedang dan besar. Deindustrialisasi yang
terjadi semakin diperparah dengan sejumlah perdagangan bebas yang diikuti oleh
Indonesia, seperti ASEAN – China Free Trade Agreement (ACFTA), Indonesia –
Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), dan lainnya. United Nations
Industrial Development Organization (UNIDO) melaporkan bahwa China menduduki
posisi pertama dalam kinerja industri di Asia Timur dan Tenggara, sedangkan
Indonesia pada urutan ke-38. Tidak hanya itu, pertumbuhan nilai ekspor dan
impor Indonesia dalam lima tahun terakhir tercatat 11,50% berbanding 24,47%. Memang tidak
semua cabang industri mengalami deindustrialisasi. Namun, gejala umum
menunjukkan bahwa walaupun tidak semua, industri yang mengalami
deindustrialisasi jauh lebih banyak dibandingkan yang tidak mengalami
deindustrialisasi. Tabel berikut adalah laju pertumbuhan industri 2004 – 2009.
Data ini diambil dari Badan Pusat Statistik RI. Kita dapat melihat mana bahwa
hanya industri barang kayu dan hasil hutan yang menunjukkan gejala pertumbuhan,
yaitu terus menanjak dari -2,07% sampai 2,44%. Industri alat angkut, mesin, dan
peralatan mengalami pertumbuhan konstan, yaitu sekitar 9,7% dalam beberapa
tahun tersakhir.
Sisanya,
mayoritas cabang industri mengalami penurunan. Industri makanan, minuman,
tembakau, tekstil, barang kulit, alas kaki, kertas, barang cetakan, pupuk,
kimia, barang dari karet, semen, barang galian non logam, logam dasar, besi,
baja, dan lainnya.
Pada akhir 2009, nilai impor Indonesia mencapai USD
10.299.947.949. Nilai ini sedikit menurun di awal 2010, yaitu sekitar USD
9.490.458.938. Namun, mulai naik kembali pada Maret 2010, hingga pada Juli,
nilai impor telah mencapai sekitar USD 12.625.936.08Tidak hanya itu, pada tahun
2008, neraca perdagangan Indonesia dan China mengalami lonjakan balik yang
drastis, mengakibatkan terjadinya defisit bagi Indonesia sebesar USD 3,6
miliar. Padahal di tahun sebelumnya, Indonesia masih memiliki nilai surplus USD
1,1 miliar. Lebih mengejutkan lagi apabila kita melihat defisit perdagangan
produk non migas Indonesia meroket dari USD 1,3 miliar di tahun 2007 menjadi
USD 9,2 miliar di tahun 2008 (terjadi lonjakan sekitar 600%). Antara Januari
hingga Oktober 2009, defisit serupa telah mencapai USD 3,9 miliar.
3.
Sektor
Pertambangan
Dalam
situasi krisis global pada beberapa tahun terakhir ini, Indonesia boleh
berbangga dengan tetap meraih pertumbuhan ekonomi positif sekitar 4% di tahun
2009. Sektor mineral dan batubara merupakan salah satu industri berbasis sumber
daya alam yang dapat diharapkan akan memberikan kontribusi cukup signifikan.
pertambangan umum hingga September 2010 telah memberikan kontribusi sebesar Rp
13 triliun untuk realisasi penerimaan negara bukan pajak (PBNP). Itu artinya,
pemerintah telah memenuhi target sekitar 85 persen dari proyeksi PNBP sektor
pertambangan umum dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara -Perubahan (APBN-P)
2010, yakni sebesar Rp 15,2 triliun.
4.
Sektor
Pariwisata
Kita pernah mengalami masa
emas perkembangan pariwisata. Pada Tahun 1995, sektor pariwisata sempat menjadi
sektor penghasil devisa terbesar, dengan perolehan devisa sekitar 15 milyar
dollar AS, ketika ekspor kayu, tekstil, dan migas mengalami penurunan. Namun
pasca tahun 1998, sektor ini mengalami penurunan yang cukup signifikan sebagai
dampak gejolak sosial politik dalam negeri, sehingga kunjungan wisatawan manca
negara menurun drastis. Selain itu, peristiwa terorisme, Flu Burung, dan gangguan
keamanan dalam negeri, turut berimplikasi terhadap menurunnya jumlah wisatawan
mancanegara, termasuk adanya kebijakan travel warning dari beberapa negara untuk
berkunjung ke Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik, pada Tahun 2010, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia
dari 20 pintu masuk, sejumlah 7 juta jiwa (naik sekitar 10,74 % dibandingkan
tahun sebelumnya), dengan rata-rata tinggal selama 7-8 hari dan rata-rata
pengeluaran sejumlah kurang lebih 995 US$ (tahun 2009). Data ini menunjukkan
bahwa dalam perspektif pembangunan nasional, sektor pariwisata memiliki
kontribusi bermakna bagi peningkatan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), terutama
bila dikaitkan dengan Sektor Perhotelan Dan Restoran.
Kerjasama sinergis antara Pemerintah
Daerah, pihak swasta, dan masyarakat dalam mengembangkan sektor pariwisata di
daerah, agar dapat terwujud manajemen kepariwisataan yang baik pada seluruh
bidang pendukung, sehingga dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap
daya tarik wisatawan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan asli
daerah, pendapatan masyarakat, dan berkontribusi pula terhadap peningkatan
devisa negara.
Industri
pariwisata memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional. Hal ini
terlihat dari kontribusi pariwisata terhadap PDB nasional dan daya serap
lapangan kerja di sektor industri pariwisata. Data Depbudpar menunjukkan, bahwa
kontribusi pariwisata terhadap PDB nasional terus meningkat sejak tahun 2004
sampai 2007. Pada tahun 2004 kontribusi pariwisata terhadap PDB nasional
sebesar Rp 113,78 triliyun atau 5,01 persen dari total PDB Rp 2.273,14
triliyun. Pada tahun 2005 kontribusi pariwisata meningkat menjadi Rp 146,80
triliyun atau 5,27 persen dari total PDB nasional Rp 2.784,90 triliyun. Pada tahun
2006 meningkat menjadi Rp 143,62 triliyun atau 4,30 persen dari total PDB Rp
3.339,50 triliyun. Sementara pada tahun 2007, persentase kontribusi pariwisata
turun tipis menjadi 4,29 persen bila dibandingkan dengan total PDB nasional,
meskipun jumlah kontribusi pariwisata tetap naik dari tahun sebelumnya menjadi
Rp 169,67 triliyun.
Adapun
kontribusi pariwisata menciptakan lapangan kerja mengalami pasang surut. Pada
tahun 2004, kontribusi pariwisata terhadapa lapanga kerja sebanyak 8,49 juta
orang atau 9,06 persen dari total lapangan kerja nasional. Pada tahun 2005
kontribusi pariwisata turun menjadi 6,55 juta orang, atau 6,97 persen dari
total lapangan kerja nasional sebesar 93,96 juta orang. Pada tahun 2006 kembali
turun menjadi 4,41 juta orang, atau 4,65 persen dari total lapangan kerja
kerja. Namun pada tahun 2007 kembali meningkat menjadi 5,22 juta orang atau
5,22 persen dari total lapangan kerja sebesar 99,93 juta orang.
Berikut ini data Produk
Domestik Bruto Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
(triliun rupiah), 2010-2011.
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar