Pendapatan perkapital
Produk Domestik Bruto Per Kapita, Produk Nasional
Bruto Per Kapita dan Pendapatan Nasional Per Kapita, 2000-2012 (Rupiah)
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Deskripsi
|
Tahun
|
||||||||||||
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011*
|
2012**
|
|
Atas Dasar Harga Berlaku
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Produk Domestik Bruto Per Kapita
|
6,720,649.83
|
7,841,308.85
|
8,546,507.67
|
9,304,088.64
|
10,447,921.18
|
12,435,034.65
|
14,741,637.68
|
17,179,215.67
|
21,013,538.84
|
23,647,682.56
|
26,786,768.35
|
30,424,351.68
|
33,338,986.87
|
Produk Nasional Bruto Per Kapita
|
6,274,973.77
|
7,550,526.54
|
8,290,778.12
|
8,946,401.36
|
9,968,490.43
|
11,829,928.08
|
14,113,563.24
|
16,472,702.16
|
20,266,765.27
|
22,820,003.44
|
26,034,839.86
|
29,556,683.81
|
32,371,459.18
|
Pendapatan Nasional Per Kapita
|
6,121,832.70
|
7,008,782.83
|
7,529,506.58
|
8,087,200.74
|
9,161,512.59
|
10,967,392.69
|
12,943,210.79
|
15,125,923.58
|
18,774,283.37
|
20,731,425.57
|
23,759,818.77
|
27,298,811.57
|
30,516,670.73
|
Atas Dasar Harga Konstan 2000
|
|||||||||||||
Produk Domestik Bruto Per Kapita
|
6,720,649.83
|
6,860,544.88
|
7,061,207.41
|
7,287,245.70
|
7,538,530.99
|
7,847,599.75
|
8,154,508.73
|
8,541,259.06
|
8,842,701.15
|
9,190,669.38
|
9,616,611.75
|
10,102,168.25
|
10,590,578.20
|
Produk Nasional Bruto Per Kapita
|
6,274,973.81
|
6,545,188.73
|
6,796,827.84
|
6,911,922.62
|
7,172,333.96
|
7,366,287.72
|
7,651,862.24
|
8,017,025.95
|
8,432,529.13
|
8,727,437.66
|
9,230,228.55
|
9,706,805.16
|
10,183,417.30
|
Pendapatan Nasional Per Kapita
|
6,121,832.74
|
6,072,213.69
|
6,173,159.05
|
6,243,180.90
|
6,585,884.13
|
6,818,378.36
|
6,999,454.42
|
7,344,733.98
|
7,797,691.36
|
7,916,021.37
|
8,412,617.54
|
9,025,532.92
|
9,490,533.09
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan:
|
|||||||||||||
*) Angka Sementara
|
|||||||||||||
**) Angka Sangat Sementara
|
|||||||||||||
Metrotvnews.com,
Jakarta: Bank Pembangunan Asia (Asian
Development Bank/ADB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini
akan berada di kisaran 5,5% sampai dengan 6%. Prediksi ini didasari oleh
pertumbuhan kinerja ekspor yang saat ini cenderung melambat dan melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Demikian informasi itu disampaikan oleh Ekonom Senior ADB, Edimon Ginting di Jakarta, Jumat (20/9). Menurutnya, salah satu dampak kenaikan BI ratesecara agresif akan berpengaruh secara langsung kepada perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Namun, hal tersebut dinilai wajar karena bertujuan untuk mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan yang semakin melebar.
“Saya masih tetap update pertumbuhan ekonomi Indonesia di antara 5,5 hingga 6%, jadi memang kita harus slow down sedikit,” urainya.
Lebih lanjut Edimon menambahkan perlambatan ekonomi Indonesia ini juga diakibatkan oleh menurunnya pertumbuhan ekspor karena China dan India sebagai negara tujuan ekspor mengalami pukulan dari pertumbuhan ekonomi global. Imbasnya hal tersebut akan terus menjadi tekanan bagi neraca transaksi berjalan.
“BI rate itu kan dinaikkan memang tujuannya untuk memperlambat, bukan cuma konsumsi domestik, tapi juga permintaan domestik, sehingga nanti bisa terkurangi defisit transaksi berjalan kita,” ungkapnya.
Di sisi lain, Edimon menambahkan bahwa kebijakan pemerintah untuk mendukung ekspor dan investasi melalui pemberian insentif, serta depresiasi nilai tukar rupiah dapat membantu meningkatkan pasokan (supply side) dan mendorong kinerja ekspor.
“Jadi kita harus dukung ekspornya lebih banyak, supaya impornya juga pelan, namun permintaan domestik juga mesti melambat,” tutup Edimon. (Rio)
Demikian informasi itu disampaikan oleh Ekonom Senior ADB, Edimon Ginting di Jakarta, Jumat (20/9). Menurutnya, salah satu dampak kenaikan BI ratesecara agresif akan berpengaruh secara langsung kepada perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Namun, hal tersebut dinilai wajar karena bertujuan untuk mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan yang semakin melebar.
“Saya masih tetap update pertumbuhan ekonomi Indonesia di antara 5,5 hingga 6%, jadi memang kita harus slow down sedikit,” urainya.
Lebih lanjut Edimon menambahkan perlambatan ekonomi Indonesia ini juga diakibatkan oleh menurunnya pertumbuhan ekspor karena China dan India sebagai negara tujuan ekspor mengalami pukulan dari pertumbuhan ekonomi global. Imbasnya hal tersebut akan terus menjadi tekanan bagi neraca transaksi berjalan.
“BI rate itu kan dinaikkan memang tujuannya untuk memperlambat, bukan cuma konsumsi domestik, tapi juga permintaan domestik, sehingga nanti bisa terkurangi defisit transaksi berjalan kita,” ungkapnya.
Di sisi lain, Edimon menambahkan bahwa kebijakan pemerintah untuk mendukung ekspor dan investasi melalui pemberian insentif, serta depresiasi nilai tukar rupiah dapat membantu meningkatkan pasokan (supply side) dan mendorong kinerja ekspor.
“Jadi kita harus dukung ekspornya lebih banyak, supaya impornya juga pelan, namun permintaan domestik juga mesti melambat,” tutup Edimon. (Rio)
Inilah Proyeksi Makro Ekonomi Indonesia 2014
Memasuki pertengahan
2013, ekonomi Indonesia berada dalam ujian besar. Hal ini terlihat dari
turunnya hampir semua indikator ekonomi. Aksi The Fed yang menghentikan
kebijakan quantitave easing sebagai stimulus ekonomi Amerika Serikat dinilai
banyak kalangan sebagai penyebab utama turunnya nilai tukar Rupiah terhadap
Dolar AS. Bukan
hanya Rupiah yang terpuruk, beberapa mata uang negara berkembang seperti India
dan Brasil pun ikut anjlok.
Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan, ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan
produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II-2013 tumbuh sebesar 5,81% secara
year on year (yoy). Angka ini turun dibanding periode yang sama pada 2012 yang
tumbuh sebesar 6,40%.
Selain melemahnya
nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang angkanya tembus Rp 11.000 per Dolar
AS, ekonomi Indonesia juga dililit defisit neraca perdagangan. Per Juli 2013,
nilai ekspor mencapai US$ 15,11 miliar dan impor sebesar US$ 17,42 miliar.
Secara komulatif nilai
ekspor Indonesia Januari-Juli 2013 (year to date) mencapai US$ 106,18 miliar
atau menurun 6,07% dibanding periode yang sama tahun lalu. Demikian juga ekspor
nonmigas mencapai US$ 87,57 miliar atau menurun 2,66%. Sedangkan untuk impor,
secara year to date mencapai US$ 111,83 miliar atau turun 0,86% jika
dibandingkan periode yang sama 2012. Impor nonmigas mencapai US$ 85,58 miliar
atau turun 3,41%.
Akibat melemahnya
nilai tukar Rupiah dan defisit perdagangan, inflasi pun meroket. Per Agustus
2013, laju inflasi secara yoy tercatat sebesar 8,79% dan secara ytd sebesar
7,94%. Tentu saja, melambungnya harga barang dan jasa memberatkan sebagian
besar masyarakat.
Situasi yang kurang
kondusif pada perekonomian Indonesia ini diperkirakan akan berlangsung sampai
akhir tahun ini. Akibatnya, Bank Indonesia merivisi target pertumbuhan ekonomi
menjadi 5,5% sampai 5,9%. Padahal, awalnya pemerintah menargetkan pertumbuhan
ekonomi tahun ini akan mencapai level 6,8% yang kemudian direvisi menjadi 6,3%
dalam APBN-P 2013.
Ekonom mengusulkan
kepada pemerintah agar segera memperbaiki defisit neraca untuk mengantisipasi
bila tapering atau pengurangan stimulus terjadi. “Kita harus menyiapkan
fundamental agar eksternal balance trade dan current account itu diperbaiki
supaya tidak negatif. Kebijakan fokus pada itu,” ujar penggamat ekonomi,
Agustinus Prasetyantoko.
Prasetyantoko
mengamini aturan giro wajib minimum yang diterbitkan Bank Indonesia, demi
mengerem kredit untuk impor, khususnya impor migas. “Kredit sektor menyerap
impor dengan sengaja dikecilkan untuk antisipasi sisi fundamental agar tidak menimbulkan
reaksi negatif,” ujarnya.
Lalu, bagaimana dengan
proyeksi ekonomi tahun depan? Pemerintah pun tidak terlalu bersikap optimis
dalam menyambut tahun politik 2014 nanti.
Hal ini terlihat dari
direvisinya target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2014, dari yang semula 6,4%
menjadi dikisaran 5,8% sampai 6,1%. Jika dibandingkan dengan pencapaian 2012
yang sebesar 6,23% jelas target ini lebih rendah.
Sedangkan nilai tukar
Rupiah direvisi di kisaran Rp 10.000-10.500 dari sebelumnya Rp 9.750 per Dolar
AS. Inflasi diasumsikan sebesar 4,5% suku bunga SPN 5,5% harga minyak US$ 106
per barel dan lifting minyak sebanyak 870 ribu barel per hari (bph).
Perubahan asumsi makro
ekonomi tersebut menyusul terjadinya gejolak ekonomi saat ini. Situasi ekonomi
global diperkirakan masih menghadapi risiko pelemahan meski akan lebih baik
dibandingkan 2013.
Selain itu, BI
memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2014 berada di kisaran 6-6,4%, atau
turun dari proyeksi semula 6,4%-6,8%.
Untuk nilai tukar
Rupiah, diperkirakan berada di kisaran Rp 10.000-10.300 per Dolar AS. Sedangkan
pada 2014, Rupiah diperkirakan di kisaran Rp 10.500-10.700 per Dolar AS.
Dalam situasi yang
tidak menentu seperti kondisi global saat ini, bukan perkara mudah menentukan
proyeksi pertumbuhan ekonomi mana yang tepat. (EVA)
Bank Dunia: Infrastruktur
Kunci Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
· JAKARTA,
KOMPAS.com - Bank Dunia menyatakn, pemerintah
Indonesia harus betul-betul mengalokasikan anggaran yang besar untuk membangun
infrastruktur.
"Budgeting belanja pemerintah untuk infrastruktur adalah kuncinya (pertumbuhan ekonomi)," ungkap Senior Macro Economist World Bank, Asley Tylor dalam diskusi di Kantor Bank Dunia, BEI, Jakarta, Senin (7/10/2013).
Selama ini alokasi pemerintah Indonesia untuk infrastruktur dinilai sangat minim. Padahal itu penting untuk menyokong pertumbuhan ekonomi. Ia mengatakan, perbaikan infrastruktur merupakan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh pemerintah di tengah harga-harga komoditas dunia yang belum akan membaik dalam satu, dua tahun mendatang.
Dalam rilis terbarunya, Bank Dunia menaksir pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal melambat pada 2014, hanya di kisaran 5,3 persen. Ini lebih rendah dibanding proyeksi pertumbuhan ekonomi 2013 yang sebesar 5,6 persen.
Perlambatan ini, menurut Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Bert Hofman sedikit banyak memang dipengaruhi oleh shutdown pemerintah Amerika Serikat, di samping rencana tappering off oleh the Fed. Namun, Hofman juga mengatakan dampak tersebut bisa diminimalisir jika pemerintah Indonesia mampu meningkatkan konsumsi domestik.
Hofman memproyeksikan harga-harga komoditas tahun mendatang belum akan merangkak naik. Untuk mengantisipasinya, Indonesia harus memperbanyak produk olahan untuk pasar ekspor, dan tidak hanya mengandalkan komoditas mentah.
"Kinerja ekspor Indonesia sangat tergantung harga komoditas dunia, di mana lebih dari 60 persen ekspor Indonesia adalah natural resources," kata Hofman via teleconference, Jakarta-Singapura,
Di sisi lain China tengah menggeser orientasi perekonomian mereka, dari ekspor menjadi kepada permintaan pasar domestik (DMO). Itu menjadi peluang bagi Indonesia untuk menjajal peruntungan pasar nontradisional baru. "Ekonomi China sedang bergeser, ini menjadi peluang bagi Indonesia," kata Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop di tempat yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar