PAJAK
PENGHASILAN
Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut
juga tarif Pasal 17) diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam
negeri dan BUT untuk menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam satu tahun
pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak
badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Untuk
keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak, maka jumlah
Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan dahulu ke bawah ribuan rupiah penuh.
Misalnya Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi
Rp120.324.000,00.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan
tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak
Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum pajak
tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri
tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan
dalam pengenaan pajak.
Berdasarkan
Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan
menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang
Pribadi. Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam bagian di bawah ini.
Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT
Tarif pajak yang
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri dan
Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena
Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan Rp50.000.000,00
|
10%
|
Di atas
Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 |
15%
|
Di atas
Rp100.000.000,00 |
30%
|
Tarif Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Tarif pajak yang
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena
Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan Rp25.000.000,00
|
5%
|
Di atas
Rp25.000.000,00 sampai dengan Rp50.000.000,00 |
10%
|
Di atas
Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 |
15%
|
Di atas
Rp100.000.000,00 sampai dengan Rp200.000.000,00 |
25%
|
Di atas
Rp200.000.000,00 |
35%
|
1. unsur-unsur
yang terkandung dalam pajak :
a. Iuran rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang bukan barang.
b. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbal Balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
a. Iuran rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang bukan barang.
b. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbal Balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2. fungsi-fungsi
pajak
a. fungsi budgetair ; pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b. Fungsi mengatur (regulerend) ; pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contohnya :
a. pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras
b. pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif
c. tarif pajak untuk ekspor 0%, untuk mendorong ekspor produk indonesia di pasaran dunia.
3. Hukum Pajak :
a. hukum pajak materiil : memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya hutang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh : Undang-Undang pajak penghasilan
b. hukum pajak formiil ; memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Contoh : ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
4. - Pajak langsung : pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : pajak penghasilan (PPh)
- pajak tidak langsung : pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh ; pajak pertambahan nilai (PPn)
5. ciri-ciri self assessment system :
a. fungsi budgetair ; pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b. Fungsi mengatur (regulerend) ; pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contohnya :
a. pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras
b. pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif
c. tarif pajak untuk ekspor 0%, untuk mendorong ekspor produk indonesia di pasaran dunia.
3. Hukum Pajak :
a. hukum pajak materiil : memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya hutang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh : Undang-Undang pajak penghasilan
b. hukum pajak formiil ; memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Contoh : ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
4. - Pajak langsung : pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : pajak penghasilan (PPh)
- pajak tidak langsung : pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh ; pajak pertambahan nilai (PPn)
5. ciri-ciri self assessment system :
a. wewenang untuk menentukan besarnya
pajak terhutang ada pada wajib pajak sendiri.
b. wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang.
c. fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
6. – Kelebihan Real Stelsel : pajak yang dikenakan lebih realistis.
- kelemahan : pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan real diketahui)
- Kelebihan Fictieve Stelsel : pajak dapat dibayar selama tahun berjalan , tanpa harus menunggu pada akhir tahun.
- Kelemahannya : Pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
7. hutang pajak dihapus karena ;
a. telah dilakukan pembayaran
b. adanya kompensasi
c. Daluwarsa
d. Pembebasan dan penghapusan
8. jawab ;
Rp120.000.000 x 15% = Rp.18.000.000
9. a. Pajak daerah : pajak yang dipungut oleh pemda dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah., pajak daerah terdiri dari pajak propinsi, contoh : pajak Kendaraan bermotor, Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor
-Pajak kabupaten/ Kota, contoh : Pajak hotel, restoran, dan pajak hiburan
b. Retribusi Daerah ; pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Contoh : a. Retribusi Pelayanan kesehatan, Retribusi kebersihan, Retribusi Pelayanan pasar, retibusi lampu jalan, Retribusi terminal, Retribusi Parkir, Retribusi tempat rekreasi.
10. pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Macam-macamnya :
a. Pajak Penghasilan (PPh), Dasar hukum : UU No.7/1984 diamandemen UU No.17/2000
b. PPN dan PPn BM, dasar hukumnya : UU No. 8/1983 diamandemen dengan UU No. 18/2000
c. Bea Materai, dasar hukumnya : UU No.13/1985
d. PBB, dasar hukumnya : UU NO.12/1985 diamandemen dengan UU NO. 12/1994
e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dsar hukumnya : UU NO. 21/1997 diamandemenkan dengan UU NO. 20/2000
b. wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang.
c. fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
6. – Kelebihan Real Stelsel : pajak yang dikenakan lebih realistis.
- kelemahan : pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan real diketahui)
- Kelebihan Fictieve Stelsel : pajak dapat dibayar selama tahun berjalan , tanpa harus menunggu pada akhir tahun.
- Kelemahannya : Pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
7. hutang pajak dihapus karena ;
a. telah dilakukan pembayaran
b. adanya kompensasi
c. Daluwarsa
d. Pembebasan dan penghapusan
8. jawab ;
Rp120.000.000 x 15% = Rp.18.000.000
9. a. Pajak daerah : pajak yang dipungut oleh pemda dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah., pajak daerah terdiri dari pajak propinsi, contoh : pajak Kendaraan bermotor, Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor
-Pajak kabupaten/ Kota, contoh : Pajak hotel, restoran, dan pajak hiburan
b. Retribusi Daerah ; pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Contoh : a. Retribusi Pelayanan kesehatan, Retribusi kebersihan, Retribusi Pelayanan pasar, retibusi lampu jalan, Retribusi terminal, Retribusi Parkir, Retribusi tempat rekreasi.
10. pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Macam-macamnya :
a. Pajak Penghasilan (PPh), Dasar hukum : UU No.7/1984 diamandemen UU No.17/2000
b. PPN dan PPn BM, dasar hukumnya : UU No. 8/1983 diamandemen dengan UU No. 18/2000
c. Bea Materai, dasar hukumnya : UU No.13/1985
d. PBB, dasar hukumnya : UU NO.12/1985 diamandemen dengan UU NO. 12/1994
e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dsar hukumnya : UU NO. 21/1997 diamandemenkan dengan UU NO. 20/2000
Pajak Penghasilan Pasal 21
Adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan.
Pemotong PPh Pasal 21
1.
Pemberi kerja yang terdiri
dari orang pribadi dan badan.
2.
Bendahara pemerintah baik
Pusat maupun Daerah
3.
Dana pensiun atau badan
lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan badan-badan lainnya;
4.
Orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar
honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga ahli, orang pribadi dengan
status subjek pajak luar negeri, peserta pendidikan, pelatihan dan magang;
5.
Penyelenggara kegiatan,
termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional,
perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan;
Penerima Penghasilan Yang
Dipotong PPh Pasal 21
1.
Pegawai;
2.
Penerima uang pesangon,
pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua,
termasuk ahli warisnya;
3.
Bukan pegawai yang menerima
atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan,
antara lain meliputi:
a.
tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
b.
pemain musik, pembawa
acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,pemain drama, penari,
pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
c.
olahragawan;
d.
penasihat, pengajar,
pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator,
e.
pengarang, peneliti, dan
penerjemah;
f.
pemberi jasa dalam segala
bidang, termasuk teknik, computer dan system aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
g.
agen iklan;
h.
pengawas atau pengelola
proyek;
i.
pembawa pesanan atau yang
menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
j.
petugas penjaja barang
dagangan;
k.
petugas dinas luar
asuransi;
l.
distributor multilevel
marketing atau direct selling;dan kegiatan sejenisnya.
4.
Peserta kegiatan yang
menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaanya dalam
suatu kegiatan, antara lain meliputi :
a.
peserta perlombaan dalam
segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu
pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b.
peserta rapat, konferensi,
siding, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c.
peserta atau anggota dalam
suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
d.
peserta pendidikan,
pelatihan, dan magang;
e.
peserta kegiatan lainnya.
Penerima Penghasilan Yang
Tidak Dipotong PPh Pasal 21
1.
Pejabat perwakilan
diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama mereka, dengan syarat :
a.
bukan Warga Negara
Indonesia; dan
b.
di Indonesia tidak menerima
atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
2.
Pejabat perwakilan
organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan
sepanjang bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
Penghasilan Yang Dipotong
PPh Pasal 21
1.
penghasilan yang diterima
atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur
maupun tidak teratur;
2.
penghasilan yang diterima
atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau
penghasilan sejenisnya;
3.
penghasilan sehubungan
dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang
diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
4.
penghasilan pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan,
upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
5.
imbalan kepada bukan
pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan
nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan;
6.
imbalan kepada peserta
kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan
imbalan sejenis dengan nama apapun.
Penghasilan Yang Tidak
Dipotong PPh Pasal 21
1.
pembayaran manfaat atau
santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
2.
penerimaan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak
atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
3.
iuran pensiun yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4.
zakat yang diterima oleh
orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah;
5.
Beasiswa yang diterima atau
diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka
mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri
maupun luar negeri.
Lain-Lain
1.
Pemotong PPh Pasal 21 dan
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke
kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2.
Pegawai, penerima pensiun
berkala, serta bukan pegawai yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal
21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender wajib membuat surat
pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau
pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP
dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong Pajak saat mulai bekerja atau mulai
pensiun;
3.
Dalam hal terjadi perubahan
tanggungan keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai yang
menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1
(satu) tahun kalender wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya
kepada pemotong PPh Pasal 21 paling lama sebelum mulai tahun kalender
berikutnya;
4.
Pemotong PPh Pasal 21 wajib
membuat dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 kepada penerima
penghasilan yang dipotong pajak;
Seri PPh - Pajak
Penghasilan Pasal 22
Rabu, 27 Juni 2012 - 09:59
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1.
Bendahara Pemerintah
Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2.
Badan-badan tertentu, baik
badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.
3.
Wajib Pajak Badan yang
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22
1.
Bank Devisa dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
2.
Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan
pembayaran, atas pembelian barang;
3.
BUMN/BUMD yang melakukan
pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau
belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
4.
Bank Indonesia (BI),
Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT.
Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT.
Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN
yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun
dari non APBN;
5.
Badan usaha yang bergerak
dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan
industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas
penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6.
Produsen atau importir
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas,
dan pelumas.
7.
Industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
8.
Wajib Pajak Badan yang
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Tarif PPh Pasal 22
1.
Atas impor :
a.
yang menggunakan Angka
Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
b.
yang tidak menggunakan API,
7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
c.
yang tidak dikuasai, 7,5%
(tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2.
Atas pembelian barang yang
dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD (Lihat Pemungut
dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah
persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final.
3.
Atas penjualan hasil
produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) ditetapkan
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a.
Kertas = 0.1% x DPP PPN
(Tidak Final)
b.
Semen = 0.25% x DPP PPN
(Tidak Final)
c.
Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak
Final)
d.
Otomotif = 0.45% x DPP PPN
(Tidak Final)
4.
Atas penjualan hasil
produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,
gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
5.
Atas pembelian bahan-bahan
untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (Lihat Pemungut
dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) ditetapkan sebesar 2,5 % dari harga
pembelian tidak termasuk PPN.
6.
Atas impor kedelai, gandum,
dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API sebagaimana dimaksud pada
angka 1 huruf a sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
7.
Atas Penjualan
a.
Pesawat udara pribadi
dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
b.
Kapal pesiar dan sejenisnya
dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
c.
Rumah beserta tanahnya
dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan
luas bangunan lebih dari 500 m2.
d.
Apartemen, kondominium,dan
sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00
dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
e.
Kendaraan bermotor roda
empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility
vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga
jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas
silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan
PPnBM.
8.
Untuk yang tidak ber-NPWP
dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22
Pengecualian Pemungutan PPh
Pasal 22
1.
Impor barang dan atau
penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
2.
Impor barang yang
dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh
DJBC.
3.
Impor sementara jika waktu
impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh
Dirjen BC.
4.
Pembayaran atas pembelian
barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah.
5.
Pembayaran untuk pembelian
bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
6.
Emas batangan yang akan di
proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor,
dinyatakan dengan SKB.
7.
Pembayaran/pencairan dana
Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
8.
Impor kembali (re-impor)
dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan
perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9.
Pembayaran untuk pembelian
gabah dan atau beras oleh Bulog.
Saat Terutang dan
Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1.
Atas impor barang terutang
dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran
Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2.
Atas pembelian barang
(Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4 )
terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3.
Atas penjualan hasil
produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) terutang
dan dipungut pada saat penjualan;
4.
Atas penjualan hasil
produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) dipungut
pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
5.
Atas pembelian bahan-bahan
(Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) terutang dan
dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran,
dan Pelaporan PPh Pasal 22
1.
PPh Pasal 22 atas impor
barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1) disetor oleh
importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean
(SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor
ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan
ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu
penyetoran pajak berakhir.
2.
PPh Pasal 22 atas impor
harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea
Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat
penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling
lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3.
PPh Pasal 22 atas pembelian
barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2) disetor oleh
pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau Kantor
Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang.
Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
a.
lembar pertama untuk
pembeli;
b.
lembar kedua sebagai
lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
c.
lembar ketiga untuk arsip
Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat
belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
4.
PPh Pasal 22 atas pembelian
barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 3) disetor oleh
pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor
Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak
berakhir.
5.
PPh Pasal 22 atas pembelian
barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 4 )
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi
atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya
dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
6.
PPh Pasal 22 atas penjualan
hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5, dan 7 )
dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank
persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim
berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke
KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7.
PPh Pasal 22 atas penjualan
hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6)
disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal
10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib
menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
a.
lembar pertama untuk
pembeli;
b.
lembar kedua sebagai
lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
c.
lembar ketiga untuk arsip
Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan
cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas
penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan
penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan
yang Dipotong PPh Pasal 23
1.
Pemotong PPh Pasal 23:
a.
badan pemerintah;
b.
Subjek Pajak badan dalam
negeri;
c.
penyelenggaraan kegiatan;
d.
bentuk usaha tetap (BUT);
e.
perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya;
f.
Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2.
Penerima penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 23:
a.
WP dalam negeri;
b.
BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal
23
1.
15% dari jumlah bruto atas:
a.
dividen kecuali pembagian
dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan royalti;
b.
hadiah dan penghargaan
selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2.
2% dari jumlah bruto atas
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan.
3.
2% dari jumlah bruto atas
imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
4.
2% dari jumlah bruto atas
imbalan jasa lainnya, yaitu:
a.
Jasa penilai;
b.
Jasa Aktuaris;
c.
Jasa akuntansi, pembukuan,
dan atestasi laporan keuangan;
d.
Jasa perancang;
e.
Jasa pengeboran di bidang
migas kecuali yang dilakukan oleh BUT;
f.
Jasa penunjang di bidang
penambangan migas;
g.
Jasa penambangan dan jasa
penunjang di bidang penambangan selain migas;
h.
Jasa penunjang di bidang
penerbangan dan bandar udara;
i.
Jasa penebangan hutan
j.
Jasa pengolahan limbah
k.
Jasa penyedia tenaga kerja
l.
Jasa perantara dan/atau
keagenan;
m.
Jasa di bidang perdagangan
surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan KSEI dan KPEI;
n.
Jasa
kustodian/penyimpanan-/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
o.
Jasa pengisian suara
(dubbing) dan/atau sulih suara;
p.
Jasa mixing film;
q.
Jasa sehubungan dengan
software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
r.
Jasa instalasi/pemasangan
mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
s.
Jasa perawatan /
pemeliharaan / pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya
di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi
t.
Jasa maklon
u.
Jasa penyelidikan dan
keamanan;
v.
Jasa penyelenggara kegiatan
atau event organizer;
w.
Jasa pengepakan;
x.
Jasa penyediaan tempat
dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk
penyampaian informasi;
y.
Jasa pembasmian hama;
z.
Jasa kebersihan atau
cleaning service;
aa.
Jasa katering atau tata
boga.
5.
Untuk yang tidak ber-NPWP
dipotong 100% ebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23
6.
Yang dimaksud dengan jumlah
bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, tidak termasuk:
a.
Pembayaran gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang diabayarkan oleh WP penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b.
Pembayaran atas
pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur pembelian);
c.
Pembayaran kepada pihak
kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak
ketiga(dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian
tertulis);
d.
Pembayaran penggantian
biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang
nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan
dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak
ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak
berlaku:
e.
Atas penghasilan yang
dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
f.
Dalam hal penghasilan yang
dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak yang bersifat final;
Penghitungan PPh Pasal 23
terutang menggunakan jumlah bruto tidak termasuk PPN
Dikecualikan dari
Pemotongan PPh Pasal 23:
1.
Penghasilan yang dibayar
atau terutang kepada bank;
2.
Sewa yang dibayar atau terutang
sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3.
Dividen atau bagian laba
yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri,
koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a.
dividen berasal dari
cadangan laba yang ditahan;
b.
bagi perseroan terbatas,
BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
25% ( dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
c.
Bagian laba yang diterima
atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang
unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
d.
SHU koperasi yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
e.
Penghasilan yang dibayar
atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai
penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Saat Terutang, Penyetoran,
dan Pelaporan PPh Pasal 23
1.
PPh Pasal 23 terutang pada
akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh
tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2.
PPh Pasal 23 disetor oleh
Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah
bulan saat terutang pajak.
3.
SPT Masa disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Dalam hal jatuh tempo
penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23 bertepatan dengan hari libur
termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus
memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau
badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
Penger tian PPh Pasal 24
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat
(1), PPh pasal 24 adalah pajak yang dibayarkan
atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak [ yang
terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.
Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak
luar negeri, merupakan perhitungan berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar
atas penghasilan diluar negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau
dikurangkan dari penghasilan yang ada didalam negeri sehingga menghindari pengenaan
pajak berganda.
B. Subjek
PPh Pasal 24
Yang menjadi Subjek PPh Pasal 24 adalah:
Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri. Objek PPh pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar
negeri.
C. Penentuan
Sumber Penghasilan PPh Pasal 24
Dalam menghitung batas jumlah pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan,
perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan sebagai berikut:
1.
Penghasilan dari saham dan
sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya
adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan.
2.
Penghasilan berupa bunga, royalti
dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak
yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau sewa tersebut bertempat
kedudukan atau berada.
3.
Penghasilan berupa sewa
sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat
harta tersebut terletak.
4.
Penghasilan berupa imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5.
Penghasilan bentuk usaha
tetap adalah Negara tempat bentuk usah tetap tersebut menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan.
6.
Penghasilan dan pengalihan
sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan
atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah Negara tempat lokasi
penambangan berada.
7.
Keuntungan karena
pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu berada.
8.
Keuntungan karena
pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah
Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.
Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan
sebagaimana dimaksud diatas menggunakan prinsip yang sama.
Dalam perhitungan kredit pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terhutang diluar negeri yang dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terhutang menurut undang-undang, penentuan sumber
pengasilan jadi sangat penting. Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang
penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri
tersebut. Mengingat undang-undang ini menganut pengertian yang sangat luas,
maka sesuai ketentuan penentuan sumber dari penghasilan. Misalnya A sebagai
wajib pajak dalam negeri memiliki rumah di singapura dan dalam tahun 2008 rumah
tersebut dijual. Keuntungan dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasila
yang bersumber di singapura karena rumah tersebut terletak di singapura.
D. Penggabungan
Penghasilan yang berasal dari luar negeri
Penggabungan penghasilan dari luar negri dilakukan
sebagai berikut:
a. Untuk penghasilan
dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
b. Untuk penghasilan
lainnya, seperti penghasilan bunga, sewa, dan lainnya dilakukan dalam tahun
pajak diterimanya penghasilan tersebut;
c. Untuk penghasilan
berupa deviden untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap
penanaman modal diluar negri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya
dibursa efek, Menteri Keuangan berhak untuk menentukan saat diperolehnya
deviden.
Jadi, Pajak Penghasilan dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang
diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari
dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka
seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau
diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak.
E. Besarnya
Kredit Pajak Luar Negeri yang boleh dikreditkan
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya
atas pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dari luar negeri, dan setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah
yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap
penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas
penghasilan kena pajak, atau setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang
atas penghasilan Kena Pajak dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari
penghasilan luar negeri.
Maksimum Kredit Pajak
= Penghasilan LN x Pajak
terhutang tahun berjalan
PKP
*Bandingkan antara “Maksimum Kredit Pajak dan Pajak
Yang Terutang/Dibayar di luar negeri”(pilih yang terkecil).
F. Mekanisme
Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri
Menurut Keputusan Menteri Keuangan (164/KMK.03/2002)
a. Pajak Penghasilan
yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak
Penghasilan yang terutang di Indonesia.
b. Pengkreditan PPh
yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak
digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di
Indonesia.
c. Jumlah PPh Pasal 24
yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara PPh
yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut
perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena
Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena
Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih
besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
d. Apabila penghasilan
dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh Pasal 24
dilakukan untuk masing-masing negara.
e. Penghasilan Kena
Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat
(1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan
penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar
Negeri.
f. Dalam hal
jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang
dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun
berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
g. Untuk melaksanakan
prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan ke KPP
bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan ;
1) Laporan Keuangan dari
penghasilan yang berasal dari luar negeri
2) Foto kopi Surat
Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3) Dokumen pembayaran
PPh di luar negeri.
h. Atas permohonan
wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
i. Dalam
hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib
pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
j. Apabila
karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas
kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
k. Apabila karena
pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut
dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak
lainnya.
Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar negeri
Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak
atas penghasilan yang dibayar di Luar Negeri, sehingga besarnya pajak yang
dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada kredit pajak Luar
Negeri semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang
atas seluruh penghasilan Wajib pajak dalam negeri pada tahun terjadinya
pengurangan atau pengembalian tersebut.
G. Perubahan
besarnya penghasilan luar negeri
Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang
berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun
pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan
perubahan tersebut.
1 jika karena
perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan
pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar daripada
yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang di Luar Negeri
menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia
juga kurang bayar. Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum
dan tatacara perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan
pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar
2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat
penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT
tersebut.
2 Apabila karena
pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan
yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam
SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar, yang akan
mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil,
sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak
tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan
utang pajak lainnya.
H. Contoh
Soal PPh pasal 24
1. PT Butut Nusa
Gendis di Pamulang memperoleh penghasilan neto dalam Tahun 2009 sebagai berikut
:
a. di negara X, memperoleh
penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp
400.000.000)
b. di negara Y, memperoleh
penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp
750.000.000)
c. di negara Z, menderita
kerugian Rp 2.500.000.000
d. penghasilan usaha di dalam
negeri Rp 4.000.000.000
Penghasilan luar negeri :
a. Laba di Negara
X Rp.
1.000.000.000
b. Laba di Negara
Y Rp.
3.000.000.000
c. Laba di Negara Z Rp.
NIHIL
d. Jumlah penghasilan
dalam negeri Rp.
4.000.000.000 (+)
Total
Penghasilan Rp.
8.000.000.000
PPh terhutang (tarif pasal 17 yang berlaku 1 januari 2009
28% dan 2010 25%)
= 28 % x total penghasilan
= Rp. 2.240.000.000
Batas maksimum untuk masing masing Negara adalah:
a. Untuk Negara X =
Rp. 1.000.000.000 x Rp.
2.240.000.000 = Rp. 280.000.000
RP. 8.000.000.000
Pajak yang terhutang diluar negeri sebesar Rp.
400.000.000 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan, maka jumlah kredit yang dapat di perkenankan hanya Rp. 280.000.000
b. Untuk Negara Y =
Rp. 3.000.000.000 x Rp.
2.240.000.000 = Rp. 840.000.000
Rp. 8.000.000.000
Pajak yang terhutang diluar negeri sebesar Rp.
750.000.000 lebih kecil dari batas maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan, maka jumlah kredit yang dapat di perkenankan adalah Rp.
750.000.000
c. Untuk Negara Z
mengalami kerugian sebesar RP. 250.000.000 (TIDAK DAPAT DIKOMPENSASIKAN)
Jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah: Rp.
280.000.000 + Rp. 750.000.000 = Rp. 1.030.000.000.
2. PT.A di Indonesia
merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. dalam tahun 2009 memperoleh
keuntungan sebesar US$ 100,000.- pajak penghasilan yang berlaku dinegara X
addalah 48% dan pajak dividen adalah 38%. Penghitungan pajak atas dividen
terrsebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan
Z
Inc US$
100,000
Pajak
penghasilan (corporate income tax)
atas
Z Inc
(48%) US$ 48,000
(-)
US$ 52,000
Pajak
atas dividen
(38%) US$ 19,750
(-)
Dividen
yang dikirim ke
Indonesia US$ 32,420
Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh
pajak penghasilan yang terutang atas PT.A adalah pajak yang langsung dikenakan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh diluar negeri. Dalam contoh
diatas itu sebesar US$ 19,750. Pajak penghasilan atas Z Inc,
sebesar US$48,000 tidak dapat dikerditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang
atas PT.A, karena pajak sebesar US$ 48,000 tersebut tidak
dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT.A dari luar
negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc, di Negara X.
Pengertian
PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan
(disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang
dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan
PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena
penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus
dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan
dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan
ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu
tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika
suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan
sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran
pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau
cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Cara
Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh
Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung
PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita
mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun
sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya
ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita
bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini
biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka
kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran
pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran
pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak
Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal
21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun
pajak.
Misal, SPT Tahunan 2007
menunjukkan data sebagai berikut :
Pajak Penghasilan
terutang
50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal
21,22,23 dan 24
35.000.000
Maka, PPh Pasal 25 tahun
2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan
terutang
50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal
21,22,23 dan 24
35.000.000
Selisih 15.000.000
PPh Pasal 25 =
15.000.000 : 12
=
1.250.000
PPh
Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT
Pajak Penghasilan Pasal
25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama
besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang
lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka
yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan
adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari
dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.
PPh
Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang
Lalu
Apabila dalam tahun
berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang lalu,
maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP
PPh
Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu
Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun
pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :
- Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
- Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
- ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
- Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
- Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran
bulanan sebelum pembetulan.
- Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib
Pajak.
Keputusan Dirjen Pajak
yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam
hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000 .
PPh
Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu
Penghitungan besarnya
angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keputusan Menteri
Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor
84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002 Tentang Penghitungan Besarnya
Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar
Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan
Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Update :
Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan yang berlaku
saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255.PMK.03/2008 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009.
PPH PASAL 26
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap
merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek
pajak badan.
Negara domisili dari Wajib
Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner).
Pemotong PPh Pasal 26
1.
Badan Pemerintah;
2.
Subjek Pajak dalam negeri;
3.
Penyelenggara Kegiatan;
4.
BUT;
5.
Perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
Tarif dan Objek PPh Pasal
26
1.
20% (final) dari jumlah
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
a.
dividen;
b.
bunga termasuk premium,
diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c.
royalti, sewa, dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.
imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.
hadiah dan penghargaan
f.
pensiun dan pembayaran
berkala lainnya.
g.
Premi swap dan transaksi
lindung lainnya; dan/atau
h.
Keuntungan karena
pembebasan utang.
2.
20% (final) dari perkiraan
penghasilan neto berupa :
a.
penghasilan dari penjualan
harta di Indonesia;
b.
premi asuransi, premi
reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan
asuransi di luar negeri.
3.
20% (final) dari perkiraan
penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit
company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di
negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di
Indonesia;
4.
20% (final) dari
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia,
kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
5.
Tarif berdasarkan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara
pihak pada persetujuan.
Saat Terutang, Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26
1.
PPh pasal 26 terutang pada
akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan,
tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
2.
Pemotong PPh pasal 26 wajib
membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
a.
lembar pertama untuk Wajib
Pajak luar negeri;
b.
lembar kedua untuk Kantor Pelayanan
Pajak;
c.
lembar ketiga untuk arsip
Pemotong.
3.
PPh pasal 26 wajib
disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan
saat terutangnya pajak.
4.
SPT Masa PPh Pasal 26,
dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar
bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa
Pajak berakhir.
Contoh: Pemotongan PPh
Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran paling lambat tanggal 10
Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20
Juni 2009.
Dalam hal jatuh tempo
penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan degan hari libur
termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pengecualian
1.
BUT dikecualikan dari
pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
a.
Penanaman kembali dilakukan
atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk
penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b.
dilakukan dalam tahun
berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak
diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c.
tidak melakukan pengalihan
atas penanaman kembali tersebut sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun
sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
2.
Badan-badan Internasional
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar