BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Fungsi
dan peranan perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan menjadi sangat
vital dalam perekonomian nasional, apabila kita menilik langsung bagaimana
andil perbankan dalam mendorong perekonomian nasional sangat tergantung pada
kemampuan perbankan dalam mengumpulkan dana (funding) dari masyrakat dalam
bentuk rekening, serta menyalurkanya (lending) dalam bentuk kredit, hususnya
sector UMKM dalam melakukan kegiatan usaha yang sering menemui kendala
permodalan.
Krisis perbankan diIndonesia diawali pada
tahun 1997 tercatat sebagai krisis paling parah dan relatif termahal didunia
sepanjang abad-20 dan diawal abad-21.
Beban biaya restrukturisasi perbankan nasional yang ditanggung oleh dapur
negara mencapai 47% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Adapun
2 (dua) penyebab utama kehancuran perbankan Indonesia pada saat itu adalah:
·
Terlalu longgarnya regulasi
perbankan, terutama sejak digulirkannya Paket Oktober 1988 (Pakto 88). Aturan
ini memungkinkan langkah mendirikan bank begitu mudahnya, sehingga dalam waktu
singkat jumlah bank menjamur.
·
Bank dan sektor real kian
terintegrasi di dalam jalinan kepemilikan seseorang atau sekelompok orang yang
sama sehingga memudahkan monopoli kebijakan. Keadaan ini sebenarnya tidak
membawa dampak negative apabila aturan main ditegakkan.
Keadaannya semakin parah mengingat
praktik-praktik bisnis dinaungi oleh suatu sistem politik tertutup yang
otoriter dan koruppun harus siap dituduh sebagai tirai hitam krisis perbankan
pada saat itu. Maka, tatkala terjadi guncangan pada sendi-sendi makro otomatis
pondasi wirausaha, termasuk perbankan, juga turut fluktuatif.
Fundamental
perbankan nasional yang baik akan berimbas pada perekonomian nasional yang kuat
dan stabil, namun dari itu sudah sepantasnya perbankan di Negara kita
menjalankan fungsi makro mereka artinya perbankan jangan sampai melupakan
peranan mereka dalam perekonomian nasional dan terlena profit yang sudah di patok,
Karena mereka memiliki andil yang besar dalam membentuk tatanan perekonomian,
dalam menguatkan fundamental perbankan sendiri secara makro.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Kondisi perbankan pada tahun
sebelumnya (2008,2009,2010,2011)?
2.
Bagaimana fundamental perbankan menghadapi
kondisi perekonomian dunia yang kian memburuk?
3.
Seperti apa peranan perbankan dalam
mengerakan roda perekonomian nasional?
4.
Apa yang menyebabkan peranan perbankan
nasional belum maksimal?
5.
Opsi regulasi apa saja yang akan pemerintah
ambil dalam mengerakan fungsi perbankan secara nyata?
C.
TUJUAN
Tujuan penyusunan
makalah dengan tata tulis ilmiah ini merupakan sebagai pelaksanaan tugas mata
kuliah PERBANKAN, namun disamping itu penulis juga berharap agar makalah ini
dapat dijadikan landasan tioritis dan bahan pertimbangan dalam penelitian
selanjutnya sebagaimana yang penulis sadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.
D.
MANFAAT
Dalam pembuatan makalah
ini penulis berharap agar makalah ini dapat dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai
landasan bagi penelitian ilmiah selanjutnya, dan dapat meningkatkan pengetahuan
kita tentang “PERBANKAN NASIONAL” guna menigkatkan taraf kehidupan pembaca dan
masyrakat pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ANALISIS
KONDISI PERBANKAN NASIONAL TAHUN 2008-2010
Selama
periode semester pertama tahun 2008 laju pertumbuhan kredit bulanan tercatat sebesar
hampir 4%, angka ini anjlok menjadi hanya sekitar 2% pada periode Semester
kedua 2008. Memasuki 2009, pertumbuhan
kredit kritis -2,1%. Belum lagi beban ini juga akan ditambah dengan jumlah kredit
macet, kredit bermasalah (NPL) sebesar 3,9%.
Penyebab
dari melemahnya pertumbuhan kredit adalah seretnya likuiditas. Salah Satu hal
yang diantara lain indikasikan dari berkurangnya lebih dari dua kali lipat
ekses likuiditas. perekonomian yang disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), fasilitas BI, dan fine tuning operation (FTO).
Pada
saat itu likuiditas perekonomian memang sedikit tertolong oleh suntikan devisa
dari negara-negara yang melakukan billateral Swap Agreement atau Asean-Chenes
Free Trade Agreement (AC-FTA) dengan Indonesia ini akan menjadi angin segar
bagi perekonomian Indonesia sebagai pasar utama diasean, nilai perdagangan dan
investasi serta arus lalu lintas keuangan dalam hal ini ekspor dan impor bisa
menjadi obat ples vitamin bagi lesunya perekonomian Indonesia (devisa Negara)
dan sektor perbankan hususnya, realisasi nilai perdagangan bebas itu
menghasilkan therapy soft progress perbankan, dan juga tidak mengherankan jika
pemerintah confidences jika pertumbuhan ekonomi
pada 2010 dipatok berkisar sebesar 5%. Berbagai suntikan devisa ini
secara langsung mengurangi tekanan terhadap likuiditas domestik melalui
mekanisme uang inti. Selain, suntikan dari luar, arus lalu lintas likuditas
domestik juga agaknya banyak terbantu oleh pesta demokrasi Pemilu yang pada
saat itu sedang hinggar bingar dirayakan.
Sayang,
aliran likuiditas yang bertambah tidak dapat diterjemahkan dalam progress
kredit. Persoalannya, krisis global juga menyebabkan semakin akutnya segmentasi
pasar perbankan domestik, yang menyebabkan suku bunga kredit komersial sulit
turun (Baca: Deviasi BI Rate dan Suku Bunga Kredit).
Berbagai
upaya terobosan yang diupayakan BI (bank central of Indonesia) untuk mengatasi
masalah pada saat itu, termasuk upaya penciptaan satu pooling fund, tidak
memberikan kabar menggembirakan. Bank masih saling enggan untuk meminjamkan
dananya, karena profil risiko masing-masing yang belum sepenuhnya transparan.
Solusi komprehensif segmentasi pasar perbankan ini agaknya membutuhkan waktu
sedikit lagi, hingga pengesahan RUU-“Jaringan Pengaman Sistem Keuangan” yang
berada black box DPR pada saat itu.
Dengan
berbagai masalah yang ada, tidak mengherankan bila laju pertumbuhan kredit sepanjang
2009 mengendap diposisi 16%. Begitu pula dengan perkiraan laju dana pihak ketiga
yang hanya sebesar 12% di semester II. Namun, perlambatan pertumbuhan kredit
dan pemburukkan NPL (kredit macet) tidak berdampak secara serius pada
fundamental sistem perbankan domestik secara keseluruhan. Secara rata-rata,
perbankan domestik masih memiliki rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio
––CAR) yang lebih dari cukup, sebesar 17%. Angka ini jauh di atas standar
minimal sebesar 8%. Bantalan modal sebesar 9%
ini menyebabkan perbankan domestik untuk menyerap berbagai risiko yang
mungkin timbul selama pride 2009. Pada awal 2009, tingkat NPL juga masih relatif
terkendali di bawah 5%, meski sedikit meningkat dari angka 4% pada akhir 2008.
Fundamental
perbankan yang baik ini merupakan modal yang sangat bernilai untuk mengarungi priode 2009. Tentu, pada tataran operasional
perbankan, upaya lebih untuk memperbaiki kinerja efisiensi ––yang saat itu
masih tergolong cukup rendah dimana rasio BOPO masih sebesar 80an–– serta
manajemen resiko dari masing-masing bank. Sebab dari pengalaman mutakhir yang
ada, dalam kasus bank Indover dan Century, runtuhnya suatu bank kerap
disebabkan oleh manajemen resiko yang amburadul, criminal, bahkan koruptif. ”ini
menjadi PELAJARAN BERHARGA MEMANG bagi perbankan jika ingin bertahan dalam
jalur persaingan pasar bebas perbankan, bank-bank baru harus sadar bahwa “bertapa sulitnya bertahan dibawah tekanan
bank-bank besar serta tekanan dari negara dalam proses perbaikan birokrasi
sehingga menyebabkan regulasi yang tidak jelas”.
Secara
bersamaan, upaya perbaikan diskala mikro ini perlu dibarengi oleh upaya di
tataran makro berupa konsolidasi perbankan. Konsolidasi yang kerap dilakukan
melalui merger selain mengurangi keakutan problem segmentasi pasar perbankan,
juga akan mengurangi beban pengawasan otoritas moneter.
Upaya
lain pada tataran makro yang perlu terus dilanjutkan bahkan diperkuat adalah
kebijakan tata kelola yang berhati-hati (prudential regulation), termasuk dalam
hal transaksi derivatif dan valuta asing yang sudah diterapkan. Kebijakan dari
BI ini adalah salah satu yang telah menyelamatkan perbankan nasional hingga
saat ini, sehingga perlu untuk diteruskan dan jangan justru dilonggarkan.
Di
samping perbaikan manajemen resiko dan tata kelola bank, ada baiknya BI juga
memberikan arahan sektoral bagi ekspansi kredit sebagai satu petunjuk
operasional perbankan. Guidance ini tentunya harus bersifat spesifik dan
berbeda pada masing-masing daerah. Pada titik ini, kantor-kantor BI yang
tersebar di hampir seluruh pelosok nusantara harus difungsionalisasikan sebagai
ujung tombang dalam memberikan arah sektoral yang bersifat lokal.
Eksistensi perbankan Indonesia akan sangat dipengaruhi
oleh kemampuannya membaca perubahan-perubahan dilingkungan makro, baik pada
lingkup nasional maupun internasional.
Perbahan-perubahan
yang penting untuk dicermati adalah :
·
Perubahan struktur dan
karakter perekonomian nasional sebagai akibat dari perubahan struktur insentif
pasca-krisis.
·
penerapan otonomi daerah.
·
fenomena globalisasi dan
regionalisasi.
B. ANALISIS
PERBANKAN PRIODE TAHUN 2011
Oktober 2011 pertengahan kuartal II, kepemilikan bank pada SBN adalah
Rp245,97 triliun, sementara dana bank pada instrumen moneter di SBI dan term
deposit Rp415,48 triliun. Total penempatan ini mencapai 31,4% dari total kredit
yang mencapai Rp2.106,2 triliun. Sekitar 60% dari penempatan dana bank di
instrumen moneter BI dikuasai oleh 10 bank besar.
Itulah yang ditengarai bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien
bekerjanya. Tingkat efisiensi industri perbankan yang masih rendah itu juga
telah memberikan kontribusi terhadap penetapan suku bunga kredit yang tinggi,
yang setidaknya tecermin dari rasio biaya operasional terhadap pendapatan
operasional (BOPO) yang 86,44% per Oktober 2011, di Negara indonesia dari
sekian banyak lembaga keuangan yang beroperasi ini, juga mencerminkan bahwa
usaha atau investasi dilembaga intermediasi keuangan diIndonesia masih sangat
menjanjikan, namun sangat dibutuhkan pengetahuan tentang regulasi yang ketat
dari pemerintah, jadi bukan fenomena yang mencengangkan bila investasi pada
lembaga ini tumbuh dengan pesat pada saat itu, namun itu tidak mengisaratkan
pemerintah lepas tanggung jawab dengan menyerahkanya pada system pasar, namun
pemerintah juga terus didesak lebih hati-hati memainkan peran regulator
disector vital ini.
Tingkat efisiensi industri perbankan yang masih rendah juga memberi
kontribusi terhadap penetapan suku bunga kredit yang tinggi. Sebagai
perbandingan, rasio BOPO perbankan di kawasan ASEAN berada pada 40-60%.
Meskipun fungsi intermediasi telah berjalan cukup baik, namun
ketidakefisienan perbankan melahirkan biaya ekonomi tinggi, yang secara nyata
tecermin pada tingginya suku bunga kredit modal kerja (KMK), kredit investasi
(KI), dan konsumsi (KK) yang masing-masing 12,09%, 11,66%, dan 13,4% pada
Oktober 2011 padahal BI rate sudah di posisi 6%. Sebagai perbandingan, di Malaysia dan Filipina, suku bunga acuan mereka
3% dan 4,5%. Sementara suku bunga kredit banknya hanya 6,5% dan 5,7%.
Dalam hal ini, terdapat 13 bank Indonesia dinilai layak menjadi bank
paling efisien dibandingkan dengan bank-bank lain pada kategori masing-masing.
Kategori itu adalah bank asing dan campuran, bank umum swasta nasional, bank
syariah dan bank pembangunan daerah (BPD), serta bank umum atau bank BUMN. Ke-13 bank terdiri atas
atas dua bank BUMN, empat bank umum swasta nasional devisa, satu bank
perkreditan rakyat (BPR), dua bank campuran, tiga bank asing, dan satu bank
umum swasta nasional devisa syariah. Tahun 2011, terjadi peningkatan jumlah
bank yang masuk kategori bank efisien. Tahun 2010, bank yang tergolong efisien
hanya berjumlah tujuh.
Selain itu, pada 2011 lalu sebaran bank yang masuk kategori efisien
lebih merata yang mengindikasikan terjadi peningkatan efisiensi dalam
operasional pada hampir semua kategori bank. Dari gambaran itu, yang perlu dicermati adalah
konstruksi berpikir bahwa rasio kredit terhadap PDB yang rendah dinilai sebagai
kegagalan bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya.
C. ANALISIS PERBANKAN PRIODE
TAHUN 2012
Sungguh kasihan bagi bank-bank yang sudah berusaha meningkatkan
efisiensi operasionalnya, lantas harus menurunkan bunga simpanan, namun
kemudian pemilik dana akan memindahkan dananya ke bank-bank pesaing yang berani
memberikan bunga simpanan sedikit lebih tinggi. (Ryan Kiryanto: Agustus 2012. Bank Indonesia) menilai, meski pertumbuhan industri perbankan
nasional terus mengalami perbaikan, namun kontribusinya dalam pembangunan
ekonomi nasional masih dibawah middle optimalalias (belum memadai).
Hal yang berlawanan itu terlihat pada fakta bahwa rasio total aset
industri perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada
September 2012 kuartal II, lalu hanya sebesar 47,2%. Di sisi lain, rasio
penyaluran kredit terhadap PDB hanya 29%. Sebagai perbandingan, rasio kredit
terhadap PDB di Malaysia 114%, Thailand 117%, dan Cina 131% ketika anda melihat
data ini apa yang anda rasakan “MIRIS” namun inilah data makro yang kami
dapatkan, dimana kontribusi bank dalam membangun perokonomian Negara masih
sangat minim mereka masih sering mematok bunga
kredit melangit, padahal apa yang mereka lakukan itu menggangu sector
ekonomi makro secara umum dan merusak fundamental perbankan itu sendiri,
sehingga perbankan juga harus siap divonis sebagai penyebab ekonomi biaya
tinggi. memang kita akuai secara sepihak memang, mematok bunga kredit tinggi
menjadi opsi dalam mendapatkan revenu yang maksimal, tapi saya melihatnya
sebagai opsi klasik karena opsi bank modern adalah “ekspansi service” bukan
dengan menaikan bunga pinjaman, ekspansi service seolah menjadi ladang-ladang
baru yang siap mereka panen.
Selain itu, perspektif dari dunia usaha memberi gambaran yang sama,
seperti hasil survei BI yang menyebutkan bahwa pangsa kredit bank dari total
pembiayaan perusahaan sangat minim, yaitu untuk modal kerja (KMK) hanya 25% dan
untuk investasi (KI) hanya 21%. Sebaliknya, dana internal perusahaan (self
financing) tersebut merupakan sumber utama pembiayaan perusahaan, yaitu 61%
untuk investasi dan 48% untuk modal kerja. Tingginya aset industri perbankan akan menjadi not
balance apabila mengingat kontribusi perbankan terhadap perekonomian nasional
karena aset perbankan yang dari perspektif makro tidak produktif, yaitu
penempatan dalam instrumen moneter dan surat berharga negara (SBN). Perlu
menjadi catatan, “filsafat bisnis” memberlakukan: kelebihan capital atau
budged dalam management atau organisasi merupakan “defisit shadow” (tidak dapat
di ukur) merupakan kerugian dan lingkungan sosial merupakan kredit makro bagi
perusahaan”.
Pandangan ini boleh jadi tidak sepenuhnya benar, karena kalau dilihat
dari posisi loan to deposit ratio (LDR) yang berkisar 81%, maka rasio ini
menggambarkan penyaluran kredit cukup besar. Bahkan beberapa bank memiliki LDR
mendekati 100%.
Negara yang lain adalah bahwa yang memberikan kontribusi terhadap PDB
bukan hanya sektor perbankan saja, namun juga sektor keuangan non perbankan
seperti industri pasar modal, anjak piutang, leasing, asuransi dan modal
ventura.
Untuk pasar modal, setiap tahun rata-rata 20 emiten baru melantai di
bursa efek Indonesia (BEI), dengan akumulasi nilai kapitalisasi pasar berkisar
Rp 10–15 triliun. Bahkan untuk 2011, konon 25 emiten baru sudah melantai di
bursa efek. Dengan akumulasi dana publik puluhan triliun itulah
perseroan-perseroan menjalankan roda operasional usahanya.
Negasi berikutnya adalah bahwa tidak sedikit pula korporasi yang karena
berbagai pertimbangan tidak menggunakan dana perbankan maupun pasar modal
sebagai sumber pendanaan, namun menggunakan dana miliknya sendiri (self
financing) untuk mengembangkan usahanya.
Kalau pun mau menghitung volume PDB, maka ini mencerminkan akumulasi
perolehan nilai moneter yang dihitung dari semua jenis transaksi perdagangan
produk nasional dan internasional. Tentu didalamnya merupakan kontribusi dari
berbagai aspek dan sektor yang saling terintegrasi. Jadi tidak bisa
dipilah-pilah sendiri-sendiri.
Tingginya nisbah kredit terhadap PDB di beberapa negara ASEAN di atas
juga disebabkan oleh regulasi setempat baik dibidang perbankan maupun non
perbankan yang memberikan sokongan nyata kepada perbankan untuk agresif
menyalurkan kredit.
Jelas ini tidak bisa digeneralisasi kondisi regulasi di Indonesia sama
dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Ambil contoh kasus di bidang pembiayaan
infrastruktur. Selama ini urusan pembebasan lahan untuk industri banyak menemui
kendala sehingga kredit tidak bisa tersalurkan dengan lancar. Hal yang sama
boleh jadi tidak terjadi di negara-negara ASEAN.
Lebih dari pada sekadar pembelaan oleh kalangan perbankan, kalau memang
kontribusi perbankan dinilai belum optimal, lantas siapa yang harus bertanggung
jawab? Perbankannya? Pemerintahnya? Regulatornya? Atau, sektor riilnya?
Sebab, suka atau tidak suka, pemerintah, regulator atau otoritas
perbankan juga memiliki andil mengapa fungsi intermediasi perbankan dinilai
tidak optimal dengan mengacu kepada tolak ukur rasio kredit terhadap PDB saja?
Soal suku bunga yang dikatakan tinggi, jelas ini semua karena mekanisme pasar
terkait dengan hukum permintaan dan penawaran.
Lagi-lagi perbandingannya dengan perbankan negara-negara ASEAN yang
jumlah banknya jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah bank di Indonesia yang
sampai saat ini berjumlah sekitar 121 bank. Siapa pun tahu kalau banyak pemain,
maka akan lebih kompetitif. Untuk memenangkan persaingan, penetapan suku bunga
simpanan yang kompetitif menjadi senjata utama bank-bank yamg ingin bertahan di
jalaur persainagan.
Celakanya lagi, dalam menggali dana publik, perbankan juga ”bersaing”
secara langsung dengan pemerintah yang terus menerus menerbitkan surat utang
negara (SUN) dengan tingkat imbal hasil yang tinggi. Jadilah produk tabungan
dan deposito perbankan bersaing dengan SUN atau ORI.
Belum lagi beberapa kementerian dalam menempatkan dana di perbankan
juga melakukan ”tender” di mana dana akan ditempatkan di bank yang memberikan
imbal hasil tertinggi. Jadi, mau dengan cara bagaimana lagi bank-bank harus
menurunkan suku bunga kalau faktanya pemerintah melalui pasar selalu mendikte
perbankan.
Dikhawatirkan bank yang tidak efisien sekali pun tetap akan menarik
minat pemilik dana karena mereka dinilai mampu memberikan imbal hasil atau
bunga yang tinggi, padahal sejatinya bank ini tengah dalam kesulitan
likuiditas.
Jadi, sungguh kasihan bagi bank-bank yang sudah berusaha meningkatkan
efisiensi operasionalnya, lantas harus menurunkan bunga simpanan, namun
kemudian pemilik dana akan memindahkan dananya ke bank-bank pesaing yang berani
memberikan bunga simpanan sedikit lebih tinggi.
Sekali lagi, inilah konsekuensi dari mekanisme pasar dengan persaingan
terbuka menjadi aturan mainnya. Lantas, apakah tidak ada jalan keluar yang lain
untuk menggerakkan penurunan suku bunga?
“ jelas Ada”, yakni dengan “bank
menawarkan produk dan jasa perbankannya secara paket sehingga penetapan pricing
bisa menjadi lebih rendah”. Model “value chain” atau “supply
chain” bisa
terapkan di perbankan sehingga pricing menjadi jauh lebih kompetitif.
Dengan cara demikian, tercipta spirit “menang-menang” (mengambil salah
satu pilar ”Tujuh Kebiasaan Hebat” menurut Steven Covey) karena di satu
sisi bank diuntungkan dan di sisi lain para nasabah juga diuntungkan. Apalagi
kalau bank mampu memberikan layanan prima yang di atas standar rata-rata
layanan perbankan, tentu nasabah akan loyal kepada banknya.
Di samping aspek tantangan nyata yang dihadapi perbankan nasional terkait
semakin buramnya wajah perekonomian dunia 2012 ini, dimana krisis ekonomi yang
melanda amerika belum sepenuhnya pulih, ditambah lagi krisis utang yang melanda
berbagai Negara di eropa seperti yunani dan spanyol, yang berimbas langsung
pada catatan bursa-bursa dominan global dan transaksi perdagangan kian memerah,
diIndonesia sendiri memang sedikit tertolong oleh laju transaksi Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI bisa menjadi faktor
kunci menggenjot kredit karena kebutuhan pendanaan untuk sektor infrastruktur
berskala mega project. Bahkan pembiayaan perbankan akan semakin tersebar karena
pelaksanaan MP3EI dilakukan melalui enam koridor ekonomi dari Aceh hingga
Papua.
Dengan demikian, pusat-pusat pertumbuhan dengan potensi investasi dan
industri unggulannya akan semakin memeratakan pertumbuhan ekonomi yang tidak
lagi terkonsentrasi di Jawa. Yang pasti, perbaikan peringkat utang Indonesia menjadi investment
grade (BBB-) dan prospek stabil perbankan yang diberikan “Fitch Rating” jangan
sampai membuat industri perbankan terlena dalam menyalurkan kredit.
2. OPSI
REGULASI PEMERINTAH
Menteri Koordinator Perekonomian
Hatta Radjasa Pernah menyindir bank nasional yang memberi bunga kredit atau
pinjaman terlalu tinggi. Menurutnya hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan
investasi dan ekonomi di Indonesia.
"Perbankan jangan terlalu
menikmati keuntungan dari spread yang tinggi. Perbankan kita terlalu menikmati
keuntungan luar biasa dari spread yang tinggi itu," ungkap Hatta baru-baru
ini. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) terkait suku
bunga dasar kredit (SBDK) perbankan pada posisi akhir bulan Juni 2012. Ada 10
bank nasional dan asing yang beroperasi di Indonesia yang menetapkan bunga
kredit retail dan korporasi yang besarnya rata-rata di atas 10 persen.
Lebih dari itu, ini penting untuk
diketahui oleh seluruh pengusaha maupun seluruh masyarakat indonesia yang
sering meminjam uang ke bank-bank nasional baik itu untuk usaha maupun untuk
kepentingan lainnya. Ada sepuluh bank nasional yang memberikan suku bunga
tertinggi di Indonesia ini. Seperti yang dilansir oleh “finance.detik.com (2012)”, berikut ini:
1.
Bank Mutiara (Mutiara Bank)
PT Bank Mutiara Tbk menduduki
peringkat kesepuluh bank paling getol pemberi bunga kredit atau pinjaman. Bank
Mutiara menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar 11,75 persen dan kredit
korporasi sebesar 11,00 persen. Bekas Bank Century ini
pada kwartal I tahun 2012 membukukan laba bersih sebesar Rp 43,52 miliar atau
naik 8,18 persen bila dibandingkan dengan laba bersih pada kwartal I tahun lalu
yang sebesar Rp 40,23 miliar. Hal tersebut didorong oleh Pendapatan bunga yang mengalami
peningkatan dari Rp 216,89 miliar menjadi Rp 296,72 miliar pada kwartal I tahun
2012.
2.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh
PT Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Aceh menduduki peringkat kesembilan bank paling getol pemberi bunga kredit atau
pinjaman. BPD Aceh menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar 11,84 persen
dan kredit korporasi sebesar 11,84 persen.
3.
Bank Victoria International, Tbk
PT Bank Victoria International Tbk
menduduki peringkat kedelapan bank paling getol pemberi bunga kredit atau pinjaman.
Bank Victoria International menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar 11,87
persen dan kredit korporasi sebesar 11,87 persen.
Bank Victoria International pada kwartal II tahun 2012 mencatat laba bersih sebesar Rp 85,29 miliar. Selain itu Pendapatan Bunga Bank Victoria International mengalami kenaikan menjadi Rp 520,84 miliar pada kwartal II tahun ini.
Bank Victoria International pada kwartal II tahun 2012 mencatat laba bersih sebesar Rp 85,29 miliar. Selain itu Pendapatan Bunga Bank Victoria International mengalami kenaikan menjadi Rp 520,84 miliar pada kwartal II tahun ini.
4.
Bank Mandiri
PT Bank Mandiri Tbk menduduki
peringkat ketujuh bank paling getol pemberi bunga kredit atau pinjaman. Bank
Mandiri menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar 12 persen dan kredit
korporasi sebesar 10 persen. Bank Mandiri pada kwartal
II tahun 2012 mencetak laba bersih Rp 7,14 triliun atau tumbuh 13 persen pada
periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 5,2 triliun. Naiknya laba Bank Mandiri
didorong oleh pendapatan bunga bersih dan premi bersih Bank Mandiri pada
triwulan kedua tercatat sebesar Rp 13,79 triliun.
5.
Bank Sumsel Babel (BSB)
PT Bank Sumsel Babel (BSB)
menduduki peringkat keenam bank paling getol pemberi bunga kredit atau
pinjaman. Bank Sumsel Babel menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar 12,18
persen dan kredit korporasi sebesar 11,11 persen.
6.
Bank Bukopin Tbk
PT Bank Bukopin Tbk (BBKP)
menduduki peringkat kelima bank paling getol pemberi bunga kredit atau
pinjaman. Bank Bukopin menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar 12,75
persen dan kredit korporasi sebesar 10,31 persen. Bank
Bukopin hingga triwulan II tahun 2012 mencatat laba bersih Rp 402 miliar atau
meningkat 20,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun yang lalu.
Pertumbuhan tersebut ditopang oleh ekspansi
kredit yang meningkat 44,3 persen menjadi Rp 46,03 triliun dibandingkan dengan
periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 31,9 triliun.
7.
Bank Danamon Indonesia Tbk
PT Bank Danamon Indonesia Tbk
(BDMN) menduduki peringkat keempat bank paling getol pemberi bunga kredit atau
pinjaman. Bank Danamon menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar 12,80
persen dan kredit korporasi sebesar 10,80 persen.
Bank Danamon hingga kwartal II tahun 2012 telah membukukan kenaikan laba bersih sebesar 36 persen menjadi Rp 2 triliun pada kwartal II tahun 2012.
Peningkatan laba tersebut didorong oleh pertumbuhan penyaluran kredit Bank Danamon yang naik 19 persen menjadi Rp 110 triliun dari Rp 93 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Bank Danamon hingga kwartal II tahun 2012 telah membukukan kenaikan laba bersih sebesar 36 persen menjadi Rp 2 triliun pada kwartal II tahun 2012.
Peningkatan laba tersebut didorong oleh pertumbuhan penyaluran kredit Bank Danamon yang naik 19 persen menjadi Rp 110 triliun dari Rp 93 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
8.
Bank Sulselbar
PT Bank Pembangunan Daerah
Sulawesi Selatan dan Barat (BPD Sulselbar) menduduki peringkat ketiga bank
paling getol pemberi bunga kredit atau pinjaman. BPD Sulselbar menetapkan bunga
untuk kredit retail sebesar 14,58 persen dan kredit korporasi sebesar 12,70
persen.
Bank Sulselbar pada triwulan I
tahun 2012 mencatatkan laba sebelum pajak Rp 90,26 miliar atau tumbuh 5,86%
dibandingkan periode yang sama di tahun 2011.
Perolehan laba Bank Sulselbar sendiri didorong oleh pertumbuhan kredit yang cukup baik per Maret 2012. Bank Sulselbar mencatat pertumbuhan kredit 15,26 persen menjadi Rp 5,58 triliun dari Rp 4,84 triliun.
Perolehan laba Bank Sulselbar sendiri didorong oleh pertumbuhan kredit yang cukup baik per Maret 2012. Bank Sulselbar mencatat pertumbuhan kredit 15,26 persen menjadi Rp 5,58 triliun dari Rp 4,84 triliun.
9.
Bank Mega Tbk
PT Bank Mega Tbk (MEGA) menduduki
peringkat kedua bank paling getol pemberi bunga kredit atau pinjaman. Bank Mega
menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar 17,25 persen dan kredit korporasi
sebesar 11,25 persen.
Hingga triwulan II tahun 2012 Bank Mega memperoleh laba Rp 1,03 triliun atau meningkat 112,7 persen. Peningkatan laba tersebut berasal dari pendapatan bunga sebesar Rp 2,8 triliun atau meningkat 18,2% dibandingkan tahun 2011.
Hingga triwulan II tahun 2012 Bank Mega memperoleh laba Rp 1,03 triliun atau meningkat 112,7 persen. Peningkatan laba tersebut berasal dari pendapatan bunga sebesar Rp 2,8 triliun atau meningkat 18,2% dibandingkan tahun 2011.
10.
Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN)
Tbk
PT Bank Tabungan Pensiunan
Nasional Tbk (BTPN) menduduki peringkat pertama bank yang paling getol memberi
bunga kredit atau pinjaman. BTPN menetapkan bunga untuk kredit retail sebesar
17,25 persen dan kredit korporasi sebesar 17,73 persen.
Pada triwulan I tahun 2012, BTPN berhasil membukukan laba bersih senilai Rp 439 miliar atau meningkat 61,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2011 sebesar Rp 271 miliar. Pertumbuhan laba tersebut didorong tingginya pertumbuhan kredit. Hingga triwulan I tahun 2012, BTPN tercatat menyalurkan kredit sebesar Rp 32,1 triliun atau meningkat 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2011 yang sebesar Rp 24,7 triliun.
Pada triwulan I tahun 2012, BTPN berhasil membukukan laba bersih senilai Rp 439 miliar atau meningkat 61,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2011 sebesar Rp 271 miliar. Pertumbuhan laba tersebut didorong tingginya pertumbuhan kredit. Hingga triwulan I tahun 2012, BTPN tercatat menyalurkan kredit sebesar Rp 32,1 triliun atau meningkat 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2011 yang sebesar Rp 24,7 triliun.
Seperti dikutip detikFinance,
Kamis (9/8/2012) data SBDK yang dipublikasikan ini berasal dari bank umum
konvensional yang wajib melakukan publikasi jika memiliki total aset minimal Rp
10 triliun. Informasi SBDK yang dipublikasikan didasarkan atas laporan yang
disampaikan oleh bank kepada Bank Indonesia untuk posisi akhir bulan laporan. Jakarta – Kalangan
bank-bank nasional Swasta (Perbanas) menilai Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) sudah ketinggalan zaman, sehingga dalam RUU Perbankan yang sekarang
digodok DPR setidaknya harus memuat visi dan misi perbankan nasional. Ini
sebagai pedoman strategis bagi perbankan domestik jangka panjang di negeri ini.
NERACA
“
kementrian melalui coordinator perekonomian sedang menyusun blue print perbankan nasional ke depan yang akan
disampaikan ke DPR, sebagai bahan masukan untuk RUU Perbankan,” ujar Ketua Umum
Perbanas Sigit Pramono di hadapan Forum Pemred di Jakarta, Kamis (9/8)
Menurut dia, dalam API yang dibuat Bank Indonesia
tercantum jenis bank yang tercantum peta perbankan yang bersifat sebagai bank
umum dan BPR. Namun dalam perkembangan sekarang ada istilah bank nasional milik
asing, yang berbeda dengan bank asing.
Hal senada juga disampaikan Raden Pardede, Ketua
Pengkajian Peraturan Perbanas, bahwa perbankan Indonesia belum mempunyai visi
yang jelas untuk ke depan. Antara lain yang seharusnya bisa membuka
lapangan kerja bagi rakyat. “Saat ini kita tidak punya arah perbankan ini mau
di bawa ke mana. Kita harus punya visi yang jelas dan national interest kita sebetulnya apa. Perbankan
itu seharusnya bermanfaat, berdaya guna, ujung-ujungnya apa kalau kita punya
perbankan tapi tidak menciptakan lapangan kerja,” katanya dalam pertemuan
tersebut.
Kepemilikan
Asing
Tentang kepemilikan asing terhadap saham perbankan
nasional, Pardeded mengatakan suatu saat bisa saja bank BUMN nanti
terdilusi saham pemerintahnya, kalau memang menginginkan pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi, maka memerlukan pertumbuhan kredit yang tinggi juga dengan
konsekuensi perbankan harus menambah modalnya.
“Nah, kalau kita bicara tentang kepemilikan,
pertanyaan sekarang apakah ini berlaku surut atau bagaimana yang sudah eksis
(UU atau aturannya), atau berlaku sejahtera. Hasil exercise saya untuk seluruh bank di Indonesia,
termasuk bank-bank BUMN dan BPD, bahwa bank BUMN itu pun nanti akan terdilusi
kalau kita menginginkan pertumbuhan ekonomi kita tetap tinggi. Kalau kita ingin
pertumbuhan ekonomi kita mau tinggi maka pertumbuhan kredit juga harus tinggi.
Kalau pertumbuhan kredit harus tinggi, dari mana itu? Modal harus ditambah
dulu,” paparnya.
Hanya pilihannya, menurut Pardede, tinggal
tergantung political will otoritas moneter apakah kita mau tetap
membatasi saham bank BUMN tetap milik mayoritas pemerintah dengan risiko
pertumbuhan kredit tetap terbatas, atau tidak.
“Kita
bukan persoalan mana yang paling baik, tapi kalau kita menjelaskan pokoknya
kita tidak mau kalau kepemilikan bank BUMN itu misalkan kurang dari 50%, tetapi
pada saat yang sama kita harus beritahukan the
other side of the story-nya bahwa kalau begitu maka pertumbuhan kredit
akan terbatas, berarti pertumbuhan ekonomi akan terbatas, berarti
penciptaan tenaga kerja juga akan terbatas, ujarnya.
Pardede mengatakan alternatif pilihan kebijakan
perbankan itu harus dijelaskan secara terbula, dan jangan hanya melihat dari
satu sisi saja, tapi juga implikasinya. “ Jika demi nasionalisme, maka kita
harus mempertanggungjawabkan kepada 700 ribu orang yang seharusnya sudah dapat
kerja, tapi tidak dapat kerja,” tuturnya. Oleh karena itu, menurutnya,
perbankan di Indonesia harus punya kejelasan arah. “Karena pada saat yang sama
kalau kita kasih misalkan dia (bank BUMN) harus terdilusi, masalahnya pemodal
dari dalam Indonesia juga tidak ada,” jelasnya. Serta pemerintah, menurut dia,
harus bisa berperan secara strategis dan sosial.
Sigit juga mengingatkan, isu peran asing di
industri perbankan Indonesia hanyalah terjadi saat ada event politik saja,
karena isu asing ini biasanya diusung oleh politikus untuk tujuan kepentingan
politik tersendiri. “Kalau kita melakukan survei kepada masyarakat atau nasabah
mengenai kepemilikan asing juga pasti nasabah akan tidak terlalu peduli mau
bank itu dimiliki asing atau tidak. Selama kinerjanya bagus, selama memudahkan
masyarakat dalam bertransaksi ya itu tidak masalah,” ujarnya.
Efisiensi
Perbankan
Presdir Bank
BCA Jahja Setiaatmadja mengingatkan beban biaya perbankan setidaknya menjadi
perhatian otoritas moneter. Pasalnya, bank selalu dituntut bekerja secara
efisien yang terlihat dalam rasio BOPO. Menyinggung pembatasan remunerasi
bankir, Jahja menilai itu merupakan hak keputusan pemegang saham “Jadi kalau
pemegang saham sudah menyepakati ya berarti sudah ditentukan. Sangat tidak
relevan dan tidak adil, karena di sektor ekonomi lain juga banyak yang gajinya
lebih tinggi, seperti di sektor pertambangan,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan margin
bunga bersih (net interest margin) bank umum nasional semakin tertekan
pada Juni 2012 menjadi 5,38%, Padahal, posisi per Januari 2012 masih
tercatat di level 6,06%. “Sebetulnya margin bunga bersih masih di atas 5%,
menurut saya masih bagus. Apakah tekanan ini adalah pertanda serius?
Mudah-mudahan ini natural saja,” ujarnya.
Sementara anggota komisi XI DPR Achsanul Qosasi
menyatakan tidak ada keharusan untuk membuat UU yang mengatur masalah gaji
bankir, baik untuk bank lokal ataupun asing. Alasannya, menurut dia, industri
perbankan itu merupakan industri yang ketat. Sehingga segala keputusan untuk
mengembangkannya lebih dilandasi pada efisiensi perbankan itu sendiri, sehingga
masalah gaji bankirnya diserahkan kepada mereka sendiri.
Penghapusan
NPL
Semenjak mencuatnya alasan kegagalan pembangunan
dan penciptaan lapangan kerja yang dalangnya salah satu adalah bank dan
regulasi perbankan oleh pemerintah, perbankanpun dengaan sigap mengambil
kesempatan untuk merong-rong pemerintah untuk membuat gebrakan dan regulasi
agar perbankan dapat menjalankan peran mereka dengan maksimal. Isu yang paling
banyak terdengar adala penghapusan NPL (kredit macet perbankan). Dan hasilnya pada tanggal 25
September 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa bank persero tidak
perlu lagi menyerahkan piutang atau kredit macet kepada Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN).
Kredit macet tidak lagi menjadi piutang negara dan bank
persero dapat melakukan hapus tagih (hair cut). Apa bedanya hapus buku
(write off) dengan hapus tagih? Saat ini, total hapus tagih kredit
macet bank BUMN sekira Rp85 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp23
triliun milik Bank Negara Indonesia (BNI). Sebagian besar berupa kredit
korporasi dan sisanya kredit ritel.
ini bukan hal baru, setidaknya ada dua bank yang sudah pernah melakukanya, Bank Tabungan Negara (BTN) terdapat hapus tagih kurang daripada Rp1 triliun. Bank Rakyat Indonesia (BRI) pernah melakukan hapus tagih bagi korban letusan Gunung Merapi (harian Kontan, 27 September 2012).
ini bukan hal baru, setidaknya ada dua bank yang sudah pernah melakukanya, Bank Tabungan Negara (BTN) terdapat hapus tagih kurang daripada Rp1 triliun. Bank Rakyat Indonesia (BRI) pernah melakukan hapus tagih bagi korban letusan Gunung Merapi (harian Kontan, 27 September 2012).
Apa saja urutan langkah hapus buku? Minimal terdapat
tiga tahap. Pertama, bank nasional
melakukan pemantauan kelaikan kredit. Kedua,
bank nasional melakukan penilaian kemampuan dan kemauan nasabah untuk membayar
tagihan. Pada tahap kedua itu, bank nasional melakukan penilaian antara lain
mengenai riwayat pembayaran, kemampuan membayar kembali, dan nilai jaminan.
Dalam menimbang riwayat pembayaran, bank nasional akan menghitung berapa kali
nasabah menunggak pembayaran dalam satu tahun. Dalam menakar kemampuan membayar
kembali, bank nasional akan menilai proyeksi aliran kas yang wajar dan
menghitung periode pembayaran kembali (payback period). Dalam menimbang nilai jaminan, bank nasional akan
melihat hasil kinerja nasabah. Pada tahap
ketiga, bank nasional menetapkan kategori kredit. Kategori kredit meliputi
kredit lancar (current), dalam perhatian khusus (special mention),
kurang lancar (sub-standard), diragukan (doubtful), dan macet
(lost). Tapi jangan pernah alpa bahwa hapus buku tidak berarti hapus
tagih, sebaliknya hapus tagih sudah pasti hapus buku. Selama ini, bank persero
tidak berani melakukan hapus tagih.
Di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 49 Tahun 1960
menyebutkan bahwa piutang macet masih dikategorikan sebagai aset negara. Dengan
demikian, penyelesaian hapus tagih tidak dapat dilakukan dengan hukum korporasi.
Dengan bahasa lebih bening, bank persero menjadi takut melakukan hapus tagih
mengingat bisa-bisa dianggap merugikan aset negara.
Bank persero masih menunggu semacam petunjuk
pelaksanaan (teknis) dalam melakukan hapus tagih. MK sudah menegaskan bank persero
tinggal membuat aturan internal tentang hapus tagih kredit macet dan tidak
perlu menunggu revisi UU Piutang Negara.
Putusan MK itu sungguh merupakan langkah strategis yang
memberikan tonggak penting bagi bank persero dalam melakukan hapus tagih.
Alhasil, bank pemerintah dapat bernapas lebih panjang lantaran tidak direpotkan
dengan urusan tagih menagih yang menyedot tenaga dan dana yang sungguh tidak
sedikit. hindari aji mumpung (moral hazard).
Di Indonesia, pembiayaan perbankan dinilai lebih tinggi,
yakni sekira 80 persen dibandingkan dengan pembiayaan pasar modal (capital
market) yang hanya 20 persen. Tapi di negara lain, rasio pembiayaan itu
terbalik yang berarti pembiayaan pasar modal lebih tinggi.
Bagaimana kinerja kredit bank nasional hingga Agustus 2012? Statistik Perbankan Indonesia, Agustus 2012, yang terbit 10 Oktober 2012 mencatat kredit bank nasional tumbuh amat subur 23,29 persen dari Rp1.958,51 triliun per Agustus 2011 menjadi Rp2.414,67 triliun per Agustus 2012. Seolah tak mau ketinggalan, dana pihak ketiga (DPK) pun tumbuh subur 21,09 persen dari Rp2.382,36 triliun menjadi Rp2.884,86 triliun. Pertumbuhan itu mendorong loan to deposit ratio (LDR) naik dari 82,21 persen menjadi 83,70 persen. Hal itu berarti bank nasional sudah melampaui LDR minimal 78 persen sekaligus menegaskan bahwa fungsi intermediasi keuangan makin meningkat. Namun ternyata rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) masih dinilai rendah 29,9 persen pada 2011 daripada bank-bank Malaysia 114 persen, Thailand 117 persen, dan China 131 persen. Sesungguhnya, kredit masih bisa lebih ditingkatkan lagi. Kok bisa? Karena kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik (undisbursed loan) masih tinggi, bahkan melejit 22,39 persen dari Rp630,78 triliun per Agustus 2011 menjadi Rp772,05 triliun per Agustus 2012.
Bagaimana kinerja kredit bank nasional hingga Agustus 2012? Statistik Perbankan Indonesia, Agustus 2012, yang terbit 10 Oktober 2012 mencatat kredit bank nasional tumbuh amat subur 23,29 persen dari Rp1.958,51 triliun per Agustus 2011 menjadi Rp2.414,67 triliun per Agustus 2012. Seolah tak mau ketinggalan, dana pihak ketiga (DPK) pun tumbuh subur 21,09 persen dari Rp2.382,36 triliun menjadi Rp2.884,86 triliun. Pertumbuhan itu mendorong loan to deposit ratio (LDR) naik dari 82,21 persen menjadi 83,70 persen. Hal itu berarti bank nasional sudah melampaui LDR minimal 78 persen sekaligus menegaskan bahwa fungsi intermediasi keuangan makin meningkat. Namun ternyata rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) masih dinilai rendah 29,9 persen pada 2011 daripada bank-bank Malaysia 114 persen, Thailand 117 persen, dan China 131 persen. Sesungguhnya, kredit masih bisa lebih ditingkatkan lagi. Kok bisa? Karena kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik (undisbursed loan) masih tinggi, bahkan melejit 22,39 persen dari Rp630,78 triliun per Agustus 2011 menjadi Rp772,05 triliun per Agustus 2012.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Apapun yang di lakukan perbankan dan regulasi pemerintah, Rambu-rambu
penyaluran kredit yang bijak dan aman tetap harus diterapkan. Contoh, pada saat
krisis 2008 perekonomian Indonesia bagus, tetapi terjadi kelengahan terhadap
kondisi ekonomi global sehingga kepercayaan investor asing turun.
Belajar dari penanganan krisis moneter 1997/1998 dan krisis ekonomi
2008 silam, maka kalangan perbankan nasional tetap harus hati-hati, waspada dan
terus memantau perkembangan lingkungan global agar dapat melakukan
langkah-langkah antisipasi secara tepat dan efektif.
Lebih baik lagi jika setiap bank menyiapkan protokol manajemen krisis
masing-masing untuk berjaga-jaga jika keadaan ke depannya semakin memburuk.
Sebagai contoh, ketika likuiditas valas sedang seret, sebaiknya perbankan
menghentikan sementara waktu pembiayaan valas dengan mengarahkan debitur
meminjam dalam rupiah.
Menciptakan sentimen positif. Ingat, makin kinclongnya
kinerja bank persero mampu meningkatkan citra perusahaan (corporate image)
sekaligus mengerek harga saham. Saat ini keempat bank persero, yakni BNI, Bank
Mandiri, BRI, dan BTN, telah tercatat di lantai bursa. Terlebih ketika
rasio-rasio keuangan pada publikasi laporan keuangan tampak tidak melewati
ambang batas yang menandakan kesehatan bank. Rasio keuangan meliputi
rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR), rasio kredit
bermasalah (non-performing loan/NPL), imbal hasil aset (return on
assets/ROA), imbal hasil ekuitas (return on equity/ROE),
pendapatan bunga bersih (net interest margin/NIM), biaya operasional
berbanding pendapatan operasional (BOPO),dan LDR. Dengan aneka pertimbangan
tersebut, bank persero makin lincah dalam bersaing dengan kelompok bank lain,
bahkan dengan bank asing.
Fundamental
perbankan yang baik ini merupakan modal yang sangat bernilai untuk mengarungi priode 2013. Tentu, pada tataran operasional
perbankan, upaya lebih untuk memperbaiki kinerja efisiensi ––yang saat itu
masih tergolong cukup rendah dimana rasio BOPO masih sebesar 80an–– serta
manajemen resiko dari masing-masing bank. Sebab dari pengalaman mutakhir yang
ada, dalam kasus bank Indover dan Century, runtuhnya suatu bank kerap
disebabkan oleh manajemen resiko yang amburadul, criminal, bahkan koruptif.
Tingkat efisiensi industri perbankan yang masih rendah juga memberi
kontribusi terhadap penetapan suku bunga kredit yang tinggi. Sebagai
perbandingan, rasio BOPO perbankan di kawasan ASEAN berada pada 40-60%.
Meskipun fungsi intermediasi telah berjalan cukup baik, namun
ketidakefisienan perbankan melahirkan biaya ekonomi tinggi, yang secara nyata
tecermin pada tingginya suku bunga kredit modal kerja (KMK), kredit investasi
(KI), dan konsumsi (KK) yang masing-masing 12,09%, 11,66%, dan 13,4% pada
Oktober 2011 padahal BI rate sudah di posisi 6%. Sebagai perbandingan, di Malaysia dan Filipina, suku bunga acuan mereka
3% dan 4,5%. Sementara suku bunga kredit banknya hanya 6,5% dan 5,7%.
Sungguh kasihan bagi bank-bank yang sudah berusaha meningkatkan
efisiensi operasionalnya, lantas harus menurunkan bunga simpanan, namun
kemudian pemilik dana akan memindahkan dananya ke bank-bank pesaing yang berani
memberikan bunga simpanan sedikit lebih tinggi. meski pertumbuhan industri
perbankan nasional terus mengalami perbaikan, namun kontribusinya dalam pembangunan
ekonomi nasional masih dibawah middle optimalalias (belum memadai). Artinya ini
masih harus ditingkatkan dalam mengerakan perekonomian secara nyata.
B. SARAN
Dalam
kotak saran ini penulis mengajak pembaca terlibat dalam proses perbaikan
makalah ini. Sebagaimana yang penulis sadari, Dalam
penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara
penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan
dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan tepat waktu dan
oleh karenanya, penulis dengan rendah hati menerima dan berharap keterlibatan
pembaca dengan bersedia memberikan masukan, saran dan usul sebagai langkah
verifikasi dan perbaikan makalah ini.
Daftar
pustaka
PAUL SUTARYONO “Pengamat Perbankan &
Mantan Assistant Vice President BNI” (Koran
SI/Koran SI/ade)
Ryan Kiryanto: Agustus 2012. Bank Indonesia
“WWW. finance.detik.com”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar