Minggu, 08 Desember 2013

PPH pasal 21 sampai 26

PAJAK PENGHASILAN
Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak, maka jumlah Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan dahulu ke bawah ribuan rupiah penuh.
Misalnya Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp120.324.000,00.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang Pribadi. Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam bagian di bawah ini.
Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak  badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :   
  Lapisan Penghasilan Kena Pajak
  Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00
  10%
Di atas
  Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00
   
  15%
Di atas
  Rp100.000.000,00
  30%

Tarif Pajak Orang Pribadi  Dalam Negeri
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
  Lapisan Penghasilan Kena Pajak
  Tarif Pajak
Sampai dengan Rp25.000.000,00
  5%
Di  atas
  Rp25.000.000,00  sampai dengan Rp50.000.000,00
   
  10%
Di  atas
  Rp50.000.000,00  sampai dengan Rp100.000.000,00
   
  15%
Di  atas
  Rp100.000.000,00  sampai dengan Rp200.000.000,00
  25%
Di atas
  Rp200.000.000,00
  35%

1. unsur-unsur yang terkandung dalam pajak :
a. Iuran rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang bukan barang.
b. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbal Balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2. fungsi-fungsi pajak
a. fungsi budgetair ; pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b. Fungsi mengatur (regulerend) ; pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contohnya :
a. pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras
b. pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif
c. tarif pajak untuk ekspor 0%, untuk mendorong ekspor produk indonesia di pasaran dunia.
3. Hukum Pajak :
a. hukum pajak materiil : memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya hutang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh : Undang-Undang pajak penghasilan
b. hukum pajak formiil ; memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Contoh : ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
4. - Pajak langsung : pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : pajak penghasilan (PPh)
- pajak tidak langsung : pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh ; pajak pertambahan nilai (PPn)
5. ciri-ciri self assessment system :
a. wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang ada pada wajib pajak sendiri.
b. wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang.
c. fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
6. – Kelebihan Real Stelsel : pajak yang dikenakan lebih realistis.
- kelemahan : pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan real diketahui)
- Kelebihan Fictieve Stelsel : pajak dapat dibayar selama tahun berjalan , tanpa harus menunggu pada akhir tahun.
- Kelemahannya : Pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
7. hutang pajak dihapus karena ;
a. telah dilakukan pembayaran
b. adanya kompensasi
c. Daluwarsa
d. Pembebasan dan penghapusan
8. jawab ;
Rp120.000.000 x 15% = Rp.18.000.000
9. a. Pajak daerah : pajak yang dipungut oleh pemda dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah., pajak daerah terdiri dari pajak propinsi, contoh : pajak Kendaraan bermotor, Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor
-Pajak kabupaten/ Kota, contoh : Pajak hotel, restoran, dan pajak hiburan
b. Retribusi Daerah ; pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Contoh : a. Retribusi Pelayanan kesehatan, Retribusi kebersihan, Retribusi Pelayanan pasar, retibusi lampu jalan, Retribusi terminal, Retribusi Parkir, Retribusi tempat rekreasi.
10. pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Macam-macamnya :
a. Pajak Penghasilan (PPh), Dasar hukum : UU No.7/1984 diamandemen UU No.17/2000
b. PPN dan PPn BM, dasar hukumnya : UU No. 8/1983 diamandemen dengan UU No. 18/2000
c. Bea Materai, dasar hukumnya : UU No.13/1985
d. PBB, dasar hukumnya : UU NO.12/1985 diamandemen dengan UU NO. 12/1994
e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dsar hukumnya : UU NO. 21/1997 diamandemenkan dengan UU NO. 20/2000
Pajak Penghasilan Pasal 21
Adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
Pemotong PPh Pasal 21
1.      Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
2.      Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah
3.      Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan badan-badan lainnya;
4.      Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga ahli, orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri, peserta pendidikan, pelatihan dan magang;
5.      Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan;
Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21
1.      Pegawai;
2.      Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3.      Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
a.       tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
b.      pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
c.       olahragawan;
d.      penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator,
e.       pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f.       pemberi jasa dalam segala bidang, termasuk teknik, computer dan system aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g.      agen iklan;
h.      pengawas atau pengelola proyek;
i.        pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
j.        petugas penjaja barang dagangan;
k.      petugas dinas luar asuransi;
l.        distributor multilevel marketing atau direct selling;dan kegiatan sejenisnya.
4.      Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaanya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi :
a.       peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b.      peserta rapat, konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c.       peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
d.      peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e.       peserta kegiatan lainnya.
Penerima Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21
1.      Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
a.       bukan Warga Negara Indonesia; dan
b.      di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
2.      Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21
1.      penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
2.      penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
3.      penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
4.      penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
5.      imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
6.      imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21
1.      pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
2.      penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
3.      iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4.      zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
5.      Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Lain-Lain
1.      Pemotong PPh Pasal 21 dan Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2.      Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong Pajak saat mulai bekerja atau mulai pensiun;
3.      Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya;
4.      Pemotong PPh Pasal 21 wajib membuat dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak;
Seri PPh - Pajak Penghasilan Pasal 22

Rabu, 27 Juni 2012 - 09:59
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1.      Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2.      Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3.      Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
1.      Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
2.      Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
3.      BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
4.      Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
5.      Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6.      Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7.      Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
8.      Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Tarif PPh Pasal 22
1.      Atas impor :
a.       yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
b.      yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
c.       yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2.      Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final.
3.      Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a.       Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b.      Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c.       Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d.      Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4.      Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
5.      Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) ditetapkan sebesar 2,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6.      Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
7.      Atas Penjualan
a.       Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
b.      Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
c.       Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d.      Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
e.       Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
8.      Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1.      Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
2.      Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
3.      Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4.      Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5.      Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
6.      Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7.      Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
8.      Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9.      Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1.      Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2.      Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3.      Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4.      Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
5.      Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1.      PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2.      PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3.      PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
a.       lembar pertama untuk pembeli;
b.      lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
c.       lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
4.      PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5.      PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
6.      PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7.      PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
a.       lembar pertama untuk pembeli;
b.      lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
c.       lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1.      Pemotong PPh Pasal 23:
a.       badan pemerintah;
b.      Subjek Pajak badan dalam negeri;
c.       penyelenggaraan kegiatan;
d.      bentuk usaha tetap (BUT);
e.       perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f.       Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2.      Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a.       WP dalam negeri;
b.      BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
1.      15% dari jumlah bruto atas:
a.       dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan royalti;
b.      hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2.      2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3.      2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
4.      2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, yaitu:
a.       Jasa penilai;
b.      Jasa Aktuaris;
c.       Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d.      Jasa perancang;
e.       Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan oleh BUT;
f.       Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
g.      Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
h.      Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
i.        Jasa penebangan hutan
j.        Jasa pengolahan limbah
k.      Jasa penyedia tenaga kerja
l.        Jasa perantara dan/atau keagenan;
m.    Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan KSEI dan KPEI;
n.      Jasa kustodian/penyimpanan-/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
o.      Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
p.      Jasa mixing film;
q.      Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
r.        Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
s.       Jasa perawatan / pemeliharaan / pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
t.        Jasa maklon
u.      Jasa penyelidikan dan keamanan;
v.      Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
w.    Jasa pengepakan;
x.      Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
y.      Jasa pembasmian hama;
z.       Jasa kebersihan atau cleaning service;
aa.   Jasa katering atau tata boga.
5.      Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% ebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23
6.      Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a.       Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang diabayarkan oleh WP penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b.      Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur pembelian);
c.       Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga(dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);
d.      Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:
e.       Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
f.       Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak yang bersifat final;
Penghitungan PPh Pasal 23 terutang menggunakan jumlah bruto tidak termasuk PPN
Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23:
1.      Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2.      Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3.      Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a.       dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b.      bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% ( dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
c.       Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
d.      SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
e.       Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
1.      PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2.      PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
3.      SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
Penger tian PPh Pasal 24
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah pajak yang dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak [ yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.
Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan diluar negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari penghasilan yang ada didalam negeri sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.
B.   Subjek PPh Pasal 24
Yang menjadi Subjek PPh Pasal 24 adalah:
Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Objek PPh pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.
C.   Penentuan Sumber Penghasilan PPh Pasal 24
Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan sebagai berikut:
1.                  Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2.                  Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3.                  Penghasilan berupa sewa sehubungan  dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara  tempat harta tersebut terletak.
4.                  Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5.                  Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usah tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6.                  Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah Negara tempat lokasi penambangan berada.
7.                  Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu berada.
8.                  Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.
Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud diatas menggunakan prinsip yang sama.
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terhutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terhutang menurut undang-undang, penentuan sumber pengasilan jadi sangat penting. Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut. Mengingat undang-undang ini menganut pengertian yang sangat luas, maka sesuai ketentuan penentuan sumber dari penghasilan. Misalnya A sebagai wajib pajak dalam negeri memiliki rumah di singapura dan dalam tahun 2008 rumah tersebut dijual. Keuntungan dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasila yang bersumber di singapura karena rumah tersebut terletak di singapura. 
D.   Penggabungan Penghasilan yang berasal dari luar negeri
Penggabungan penghasilan dari luar negri dilakukan sebagai berikut:
a.    Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
b.    Untuk penghasilan lainnya, seperti penghasilan bunga, sewa, dan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
c.    Untuk penghasilan berupa deviden untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal diluar negri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya dibursa efek, Menteri Keuangan berhak untuk menentukan saat diperolehnya deviden.
Jadi, Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak.

E.   Besarnya Kredit Pajak Luar Negeri yang boleh dikreditkan
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri, dan setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang  atas penghasilan kena pajak, atau setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas penghasilan Kena Pajak dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
Maksimum Kredit Pajak 
Penghasilan LN  x  Pajak terhutang tahun berjalan
                                    PKP
*Bandingkan antara “Maksimum Kredit Pajak dan  Pajak Yang Terutang/Dibayar di luar negeri”(pilih yang  terkecil).
F.    Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri
Menurut Keputusan Menteri Keuangan (164/KMK.03/2002)
a.    Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
b.    Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
c.    Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
d.    Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
e.    Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
f.     Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
g.    Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan ;
1)    Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2)    Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3)    Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
h.    Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
i.      Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
j.      Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
k.    Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar negeri
Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di Luar Negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada kredit pajak Luar Negeri semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib pajak dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau pengembalian tersebut.
G.   Perubahan besarnya penghasilan luar negeri
Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
1     jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang di Luar Negeri menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan tatacara perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
2     Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar, yang akan mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil, sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
H.   Contoh Soal PPh pasal 24
1.    PT Butut Nusa Gendis di Pamulang memperoleh penghasilan neto dalam Tahun 2009 sebagai berikut :
a.  di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp 400.000.000)
b.  di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp 750.000.000)
c.   di negara Z, menderita kerugian Rp 2.500.000.000
d.  penghasilan usaha di dalam negeri Rp 4.000.000.000
Penghasilan luar negeri :
a.    Laba di Negara X                             Rp. 1.000.000.000
b.    Laba di Negara Y                             Rp. 3.000.000.000
c.    Laba di Negara Z                             Rp. NIHIL
d.    Jumlah penghasilan dalam negeri          Rp. 4.000.000.000 (+)
Total Penghasilan                           Rp. 8.000.000.000
PPh terhutang (tarif pasal 17 yang berlaku 1 januari 2009 28% dan 2010 25%)
= 28 % x total penghasilan =                               Rp.  2.240.000.000
Batas maksimum untuk masing masing Negara adalah:
a.    Untuk Negara X =
Rp. 1.000.000.000   x  Rp. 2.240.000.000 = Rp. 280.000.000
RP. 8.000.000.000
Pajak yang terhutang diluar negeri sebesar Rp. 400.000.000 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang dapat di perkenankan hanya Rp. 280.000.000
b.    Untuk Negara Y =
Rp. 3.000.000.000  x  Rp. 2.240.000.000 = Rp. 840.000.000
Rp. 8.000.000.000
Pajak yang terhutang diluar negeri sebesar Rp. 750.000.000 lebih kecil dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang dapat di perkenankan adalah Rp. 750.000.000
c.    Untuk Negara Z mengalami kerugian sebesar RP. 250.000.000 (TIDAK DAPAT DIKOMPENSASIKAN)
Jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah: Rp. 280.000.000 + Rp. 750.000.000 = Rp. 1.030.000.000.





2.    PT.A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. dalam tahun 2009 memperoleh keuntungan sebesar US$ 100,000.- pajak penghasilan yang berlaku dinegara X addalah 48% dan pajak dividen adalah 38%. Penghitungan pajak atas dividen terrsebut adalah sebagai berikut:
            Keuntungan Z Inc                                       US$ 100,000
            Pajak penghasilan (corporate income tax)
            atas Z Inc (48%)                                           US$   48,000 (-)
                                                                                    US$   52,000
            Pajak atas dividen (38%)                            US$   19,750 (-)
            Dividen yang dikirim ke Indonesia                       US$   32,420
Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh pajak penghasilan yang terutang atas PT.A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh diluar negeri. Dalam contoh diatas itu sebesar US$   19,750. Pajak penghasilan atas Z Inc, sebesar US$48,000 tidak dapat dikerditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas PT.A, karena pajak sebesar US$   48,000 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT.A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc, di Negara X.
Pengertian PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Cara Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir.  Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang                                50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24                35.000.000
Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang                                50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24                35.000.000
Selisih                                                            15.000.000
PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 =                          1.250.000
PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.
PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP
PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :
  1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
  2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
  3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
  4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
  5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
  6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak   Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000 .
PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu
Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Update :
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255.PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009.
PPH PASAL 26
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
Pemotong PPh Pasal 26
1.      Badan Pemerintah;
2.      Subjek Pajak dalam negeri;
3.      Penyelenggara Kegiatan;
4.      BUT;
5.      Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
Tarif dan Objek PPh Pasal 26
1.      20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
a.       dividen;
b.      bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c.       royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.      imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.       hadiah dan penghargaan
f.       pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g.      Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h.      Keuntungan karena pembebasan utang.
2.      20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
a.       penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
b.      premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
3.      20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;
4.      20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
5.      Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26
1.      PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
2.      Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
a.       lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
b.      lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
c.       lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3.      PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
4.      SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2009.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pengecualian
1.      BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
a.       Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b.      dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c.       tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
2.      Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar